Chapter 1: A Lost Boy
Chapter Text
Terjadi gelombang ledakan besar di hutan tempat seorang Dunedain beristirahat. Halbarad segera bergegas menuju lokasi, langkah kakinya cepat namun penuh kehati-hatian, berusaha sebisa mungkin tidak menarik perhatian dari apapun yang menyebabkan gelombang tersebut. Ledakannya sangat besar sampai pohon-pohon pun sempat terombang-ambing, ini tidak mungkin datang dari Orc atau Warg, pastilah sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak dia ketahui dan bisa saja berbahaya.
Halbarad dapat melihat bagaimana tanah di sekitarnya seperti baru saja terkena badai, beberapa rumput terlepas oleh tekanan kuat yang datang dari pusat gelombang. Itu tidak seperti apa yang dia bayangkan, pusat kekuatan besar barusan datang dari seorang lelaki muda yang tergeletak tak berdaya di tengah sana. Dia mungkin akan berpikir anak itu sebagai korban jika saja tanah dan pohon di sekitarnya tidak hancur, semuanya tepat mengelilingi tempat dia tertidur. Ia melangkah semakin berhati-hati, takut jika semua ini hanya jebakan atau sesuatu yang lain. Namun ketika dia melihat bahwa pemuda itu sama sekali tidak mengantongi senjata, Halbarad menurunkan sedikit kewaspadaannya.
Lelaki itu berpakaian aneh. Bukan dalam arti buruk, kainnya terlihat mahal dan memiliki potongan sempurna, seperti pakaian yang akan dikenakan bangsawan, tapi tidak satupun orang kaya yang dia ketahui pernah mengenakan kain serupa. Sesuatu yang bahkan tidak pernah dia lihat dikenakan oleh kaum Elf. Telinganya bundar, hal aneh lain yang ia sadari karena wajahnya terlalu halus untuk standar manusia biasa. Cantik, jika dia boleh jujur, kecantikan yang menyamai para Elf. Tetapi sekali lagi, bahkan Elf yang pernah dia temui tidak ada yang sehalus wajah pemuda ini, kulitnya terawat dengan sempurna seperti matahari tak pernah menyentuhnya. Bibir merah muda itu terlalu lembab di udara mereka yang kering. Bulu matanya panjang, rahangnya tinggi, satu-satunya tanda ketidaksempurnaan yang ia miliki hanya bekas luka unik di dahinya.
Tidak ada luka, hanya sedikit memar akibat benturan. Pemuda itu, atau mungkin remaja, entahlah Halbarad tidak begitu yakin, tampaknya tidak akan sadarkan diri untuk beberapa jam ke depan. Merasa cukup yakin bila ia tak berbahaya, Halbarad memutuskan untuk membawanya ke perkemahan. Tubuh yang lebih kecil di baringkan dengan kepala disangga pada setumpuk kain. Pakaiannya panjang, tapi jelas tak cukup hangat untuk udara malam nanti. Jadi ia melepaskan jubahnya dan merentangkan kain tersebut di atas tubuh yang berbaring.
“Aragorn seharusnya datang sebentar lagi,” dia bergumam. Menatap langit yang perlahan mulai menggelap. Dengan gelombang ledakan sebesar itu, mustahil untuk tidak menarik perhatian makhluk berbahaya lain di hutan. Namun kakinya sedang terluka, tidak memungkinkan untuk pergi lebih jauh, pun, kudanya baru saja diistirahatkan. Jika Aragorn melihat gelombangnya, dia mungkin bisa tiba lebih cepat dan membantu. Halbarad tidak yakin bisa membela diri andaikata Orc datang dan menyerang mereka, terutama dengan seorang pemuda yang pingsan dalam pengawasannya.
Bunyi tapal kuda berhasil membangkitkan Halbarad dari ketidaksadarannya. Astaga, dia baru saja tertidur di keadaan yang beresiko, bersyukur tidak ada tanda-tanda bahaya di sekitar sini. Matanya melirik sekilas pada sosok yang masih tertidur, tampak damai meskipun jika dia menajamkan penglihatannya, kau bisa melihat bekas kelelahan di bagian bawah mata itu.
Ketika Aragorn tiba, pria itu sama sekali tidak berbasa-basi lagi. “Halbarad, gelombang apa itu? Aku merasakannya bahkan dari jauh.”
“Aku juga tidak tahu, tapi anak itu berada tepat di pusat gelombang. Dia sudah pingsan ketika aku menemukannya.”
Di situlah Aragorn menyadari kehadiran sosok lain di antara mereka. Seorang pemuda ramping yang terbaring tak berdaya di bawah pohon. Pakaiannya aneh, jelas bukan pakaian yang digunakan untuk menempuh perjalanan. “Dia yang menimbulkan gelombang itu?”
“Aku tahu kedengarannya tak masuk akal, tapi begitulah yang terjadi.”
“Dia seperti baru berusia 18 tahun,” ujar Aragorn yang disetujui rekannya. Ia mendekati diri, mengulurkan tangan untuk mengelus sisi wajah yang halus dengan punggung jarinya. “Kulitnya seperti Elf, tapi bertelinga bundar.” Kemudian ia menyadari sesuatu, “Apa dia terluka?”
“Tidak, hanya sedikit memar. Aku sudah mengolesi beberapa yang terlihat dengan salep.”
Tanpa balasan lebih lanjut, Aragorn mendudukkan diri di sampingnya. Masih belum bisa memutuskan pandangan dari remaja asing yang mereka temukan. Pemuda ini, tubuhnya memiliki otot namun sangat halus, jelas dia bukan pengguna senjata terlepas dari fakta bahwa memang tidak ada apapun yang ia bawa.
Lalu dia berbalik pada Halbarad. “Kita mungkin harus membawanya ke Rivendell.”
Pernyataan tersebut agaknya membuat sang lawan bicara mengernyitkan alis. “Kenapa? Dia tidak terluka dan jelas bukan Elf.”
“Tapi dia berada di pusat gelombang itu. Lebih baik mencari aman dengan membawanya ke Lord Elrond.“
“Sebaiknya kita tunggu dia bangun, mungkin dia memiliki jawaban atas semua itu.”
“Kau benar.”
Pagi sudah tiba ketika Halbarad terbangun. Kakinya masih berdenyut nyeri meskipun tanaman herbal telah dioleskan sejak semalam, setidaknya sekarang jauh lebih baik, ia bisa kembali melanjuti perjalanan dan berpura-pura tidak memiliki cedera. Lagi pula, luka bagi seorang Ranger sudah seperti makanan sehari-hari, selagi tidak sampai mematahkan bagian tubuh mereka, maka itu tak masalah.
Iris coklatnya menyapu sekitar dengan pandangan tajam, hanya untuk menemukan Aragorn tengah berlutut di samping pemuda yang… bagaimana bisa anak itu sampai di sana? Ia yakin sekali membaringkannya di bawah pohon arah timur, dan sekarang ketika matahari sudah terbit, tubuhnya telah telungkup dengan tidak anggun di arah barat. Dia pun mendekat, mendapati rekannya tengah tersenyum geli memandang sosok yang tidak sadarkan diri di hadapan mereka.
“Dia tidur lebih buruk dari beruang. Aku melihatnya berguling-guling sendiri hingga menabrak pohon.”
Halbarad mendesah. “Dan dia masih belum bangun bahkan dengan tabrakan itu?”
“Begitulah.” Aragorn tidak mampu menahan rasa gelinya dan Halbarad hanya menggelengkan kepala. Sungguh anak yang sangat unik, mereka berdua belum pernah bertemu ras manapun yang memiliki kebiasaan tidur seburuk ini, bahkan kurcaci mungkin tidak ada apa-apanya dibandingkan manusia temuan mereka. “Harus kah kita membangunkannya?”
“Mungkin bisa dicoba.”
Halbarad berlutut di samping, mengulurkan tangan untuk mengguncang pelan bahu yang lebih ramping. Tidak ada respon, jadi dia terpaksa menepuk-nepuk lembut pipi putih itu dan mendapatkan erangan pelan sebagai balasan. Kedua Ranger itu saling menatap, lalu Aragorn ikut mencoba mengguncang tubuh di bawahnya. Sepertinya mereka berhasil, anak itu sekarang tidak lagi bertahan pada posisi seperti korban bencana alam. Dia mulai menguap dan mengusap kelopak matanya. Tidak butuh lama sampai zamrud paling cerah muncul di hadapan keduanya, menarik seluruh perhatian pada pusat permata terindah yang pernah ada di Middle Earth.
Mereka bertiga saling berpandangan dalam diam, atau lebih tepatnya, anak itu menatap kedua pria dewasa di atasnya dengan penuh tanda tanya. Dahinya yang halus berkerut, jelas sedang memproses segala kejadian yang tengah menimpanya sekarang. Aragorn mungkin akan menertawakan itu andai saja mereka berada di situasi yang berbeda. Barulah setelah menit kelima, ia melompat dan sekali lagi menabrak batang pohon yang luar biasa keras dari arah belakang, membuatnya meringis kecil sambil meringkuk ke samping.
Dengan reflek seorang Ranger, Halbarad meletakkan lengannya sebelum anak itu bisa membuat lebih banyak benturan ke tanah. Mereka bisa melihat kedua kuping bundar itu mengeluarkan rona merah yang sangat kontras pada kulit putihnya, membuat Aragorn sekali lagi tersenyum geli. “Kau baik-baik saja?”
Tidak dijawab, namun Halbarad bantu mendudukkan tubuh rampingnya sehingga kini mereka bisa saling memandang dengan lebih nyaman. “Dari mana asalmu, Nak?”
Anak itu, mungkin juga remaja atau pemuda, mereka tidak benar-benar tahu, berkedip bingung pada keduanya. Dia terlihat seperti anak anjing yang sedang tersesat, atau seekor tikus yang baru saja dihadapkan dengan anjing liar. Butuh beberapa saat bagi mereka hingga akhirnya dia mau mengeluarkan suara. Namun bahasa yang dia beri sama sekali di luar prediksi para Ranger.
“A-aku tidak mengerti apa yang kalian katakan.”
Aragon dan Halbarad sekali lagi saling bertatapan. Seolah memberi sinyal satu sama lain, kini dua pasang mata berbeda warna kembali fokus pada zamrud yang tampak putus asa. Mereka tidak mengerti satupun kata yang orang ini keluarkan, itu bukan Westron apalagi Sindarin. Sebagai seseorang yang telah menjelajah dan mengawasi keseimbangan Middle Earth, tak sekalipun dari para Ranger itu yang pernah mendengar bahasa barusan. Sangat asing, seperti mereka tidak berasal dari dunia yang sama.
Akhirnya Aragorn mendesah. “Jika seperti ini, akan sia-sia saja membawanya ke Rivendell.”
“Kau benar. Lalu kita apakan dia?”
“Pilihan terbaik hanya membawanya ke desa terdekat. Dia bisa tinggal di sana sekaligus mempelajari Westron.”
“Lalu bagaimana dengan gelombang itu?”
“Kita bisa mencari tahunya nanti. Percuma saja jika menginterogasinya sekarang di saat kita tidak saling memahami.”
Halbarad mengangguk. Beralih pada pemuda di hadapannya, ia berdiri sambil mengulurkan sebelah tangan, yang diterima setelah beberapa detik mencerna situasi barusan. Sebelum menuntunnya untuk naik ke atas kuda, ia mencoba memperkenalkan diri terlebih dahulu. “Halbarad,” ujarnya dengan menaruh telapak tangan di depan dada. Aragorn yang melihat itu akhirnya melakukan hal yang sama.
Setidaknya orang ini cerdas, dia bisa langsung menangkap bahasa tubuh mereka dan langsung menirukannya dengan menyebut namanya sendiri. “Harry.”
Nama yang aneh, pikir kedua Ranger. Mereka baru mendengar sesuatu seperti itu selama puluhan tahun hidup berkelana. Tapi ini bukan saat yang tepat untuk memikirkannya. Mereka harus segera bergerak sebelum bahaya datang mendekati sumber ledakan. Sambil menuntunnya ke arah kuda, Aragorn memberi isyarakat agar pemuda itu mau ikut dengan mereka, lagi pula dia tidak punya pilihan lain. Meski masih tampak kebingungan, namun ia menurut ketika Aragorn mencoba menaikkannya ke atas kuda.
Rupanya, pemuda itu jelas belum pernah berkuda selama ini. Hal tersebut dapat dilihat oleh siapa saja, dengan bagaimana kikuk dan tegangnya tubuh itu di atas hewan besar yang terus berpacu. Halbarad menyeringai geli dari samping, sementara Aragorn tersenyum sambil terus mengeratkan pegangannya pada tubuh yang lebih kecil. Harry harus selalu ditahan dari belakang, punggungnya ditempelkan pada dada Aragorn agar anak itu tidak jatuh ke depan. Telinganya semakin memerah dari waktu ke waktu.
Mereka terus bepergian selama beberapa hari, dan selama itu pula kedua Ranger tersebut tak henti-hentinya mencoba mengajarkan Harry pada bahasa Westron. Dimulai dari nama-nama benda, tumbuhan, hewan, hingga akhirnya Harry mampu mengucapkan beberapa kalimat pendek sederhana. Itu cukup mengejutkan, Halbarad tidak menyangka dia dapat belajar dengan cepat dan memiliki ingatan yang kuat, sehingga mengajarinya selalu menjadi hal yang menyenangkan.
Suatu hari ketika Aragorn pergi berburu, meninggalkan Halbarad dan Harry berdua untuk menyiapkan perkemahan. Ketika kembali, ia disambut dengan senyum lebar Harry yang memamerkan kosa kata barunya. Dengan wajah berseri-seri ia berkata,
“Aragorn, kau adalah monyet hutan!”
Sang Ranger terdiam, dan Halbarad tertawa terbahak-bahak dari arah belakang. Harry langsung mengernyitkan alisnya begitu melihat Halbarad berguling-guling seperti orang bodoh di depan api unggun, dia kebingungan sendiri. Ketika berbalik menghadap Aragorn, dahinya disentil dengan ibu jari dan jari telunjuk pria itu, tidak begitu sakit namun cukup untuk membuatnya tersentak. Masih dengan ekspresi bingung, kali ini menuntut penjelasan lebih jauh dan membuat Aragorn menghela napas pendek.
“Jangan katakan itu lagi, mengerti?”
Tidak, tentu saja dia tidak mengerti. Apakah dia lupa jika kosa kata Harry sangat terbatas? Tapi dilihat dari gestur jarinya yang menunjuk wajah Harry, sepertinya itu sebuah peringatan. Terlebih lagi sang Ranger langsung melemparkan kelinci buruannya ke wajah Halbarad, tidak lupa memelototinya yang masih tertawa tidak karuan.
Ah, jadi dia baru saja dikerjai?
Wah Sialan.
Sejak hari itu, Harry tidak lagi mendengarkan perkataan Halbarad. Hanya jika dia mendapati konfirmasi langsung dari Aragorn, ia baru akan mempercayainya. Pria itu sama sekali tidak tersinggung atau merasa bersalah, dia selalu menyeringai geli tiap kali Harry memberikannya pandangan meragukan.
Ada kejadian lucu lagi ketika kelompok mereka berhasil menemukan sungai. Harry nyaris melompat dari kuda karena dia benar-benar tidak tahan terus-terusan berada di alam liar tanpa mandi. Aragorn langsung menuntunnya ke sana, memberi kode agar dia bisa melepaskan pakaian dan berendam di dalam air. Tetapi itu tidak berjalan cukup baik karena Harry menggigil setengah mati setelah mencelupkan ujung jari kakinya ke sungai. Merlin, dia tidak tahu air sungai bisa sedingin itu! Rasanya seperti rencana bunuh diri di dalam bongkahan es. Halbarad sekali lagi menahan tawa melihat ekspresi Harry yang jelas sangat terkejut dengan suhunya.
Anak itu terus-terusan ragu, sampai Aragorn harus meyakinkannya bahwa air di sana tidak akan membunuhnya. Tetapi Harry tidak dapat fokus pada perkataan mereka karena— oh astaga, apakah mereka harus bertelanjang di alam bebas? Dia belum melepaskan celana dalamnya karena tidak yakin dengan ide tersebut. Tapi pemandangan Aragorn dan Halbarad yang berjalan santai di sungai tanpa sehelai benang pun, benar-benar membuat Harry takut untuk melihat ke depan. Dia berusaha bersikap normal, sebisa mungkin melirik ke mana saja asal bukan penis besar sialan yang masih bisa dilihat dari luar air. Tidak membantu dengan fakta bahwa penis tersebut cukup keras, mungkin efek suhu air.
Harry mulai berpikir, apakah normal untuk memiliki penis sebesar itu? Dia tahu bahwa manusia di zaman dulu memiliki tubuh yang jauh lebih besar dibanding manusia modern, namun tetap saja ketika kau melihatnya secara langsung itu akan menjadi pengalaman yang berbeda. Harry sendiri tingginya 175 cm, namun di hadapan kedua pria itu dia hanya mampu mencapai bawah dagu mereka, tidak lebih. Benar-benar memalukan. Penisnya kini tampak seperti lovebird di antara para elang, sial.
Sekali lagi, apakah semua tubuh pria di zaman ini begitu kekar? Dengan otot perut, otot dada, bisep, dan bahkan otot paha yang sangat kencang. Harry jarang melihat pria bertubuh kekar seperti itu, penyihir adalah ras yang sangat dimanjai oleh sihir, tidak banyak dari mereka yang benar-benar tertarik untuk membentuk tubuh. Namun kedua Ranger ini sama sekali tidak merencanakannya, tubuh mereka adalah hasil bertahan hidup selama puluhan tahun, dididik keras oleh alam dan sama sekali tidak memiliki fasilitas yang memanjakan.
Harry tidak pernah benar-benar melihat tubuh pria selain mantan kekasihnya, dan dia hanya pernah berpacaran satu kali demi Tuhan. Selama bersekolah di Hogwarts pun, mereka semua tetap menjaga privasi masing-masing karena setiap kamar memiliki setidaknya dua sampai tiga kamar mandi. Tidak seperti sekolah asrama Muggle yang sering kali terbiasa dengan budaya berbagi kamar mandi, tidak, mereka tidak pernah melakukannya kecuali keadaan terdesak.
Jadi sambil bergerak canggung, ia perlahan melepaskan sisa kain celananya dan berjalan mendekati mereka. Memeluk kedua sisi tubuhnya sendiri karena suhu air ini benar-benar luar biasa dingin, dia tidak mengerti bagaimana caranya kedua pria itu bertindak seolah mereka tengah berendam di jacuzzi . Ketika sudah cukup dekat dengan keduanya, ia bersandar pada batu besar sambil mengoleskan sabun batang kecil yang baru saja dilempar Aragorn. Mereka berdua berbincang santai sambil mencuci pakaian masing-masing, yang untungnya tidak perlu dilakukan Harry karena ia hanya memiliki satu setel pakaian. Lagi pula, selama ini dia diam-diam telah melemparkan mantra pembersih ke pakaiannya, yang membuat kedua Ranger terkadang menatap Harry bingung karena kain tersebut tidak pernah kotor.
“Harry, kemari,” Aragorn memanggil. Mungkin menyadari bagaimana rekan kecilnya kesusahan memegang sabun batang. Dia terbiasa menggunakan sabun cair selama hidup di dunia lama. Batangan putih itu sering kali terlepas dari telapaknya dan nyaris terbawa arus.
Dengan pandangan bertanya, Harry mendapati dirinya ditundukkan oleh pria yang lebih besar. Sabun diambil alih dari tangannya, dan dengan cekatan digosok-gosokkan pada kepala Harry setelah ia mencelupkannya ke dalam air sampai semua permukaan rambut itu basah. Meskipun tidak senyaman pijatan pekerja salon, namun Aragorn membuat gerakannya selembut mungkin agar Harry tidak merasa terjambak. Sabun itu tidak mengeluarkan banyak busa, bahkan nyaris tidak berbusa, tetapi jauh lebih baik daripada tidak menggunakannya sama sekali.
Halbarad juga membantu menggosok punggung belakangnya dengan kain bertekstur kasar yang mereka bawa dari tas. Sebagai gantinya Harry juga akan menggosok punggung Halbarad dan Aragorn. Mereka mengatakan sesuatu tentang tinggi badannya, mungkin kedua pria itu berpikir lebih mudah bagi Harry untuk menggosok mereka karena dia jelas lebih pendek. Wah, itu agak menyinggung, sayang sekali dia tidak memiliki cukup kosa kata untuk membalas perkataan mereka. Jadi satu-satunya hal yang bisa dia lakui adalah menyemprot Halbarad dengan air sungai, yang sialnya lagi, dibalas dengan gelombang air yang jauh lebih besar. Aragorn mengatakan sesuatu tentang kejenakaan mereka berdua, namun Harry tidak peduli dan terus menyerang Halbarad.
Diapit oleh dua pria bertubuh raksasa membuat perbandingan mereka terlihat sangat kontras. Para Ranger memiliki kulit kecoklatan dan banyak bekas luka, sementara Harry berkulit putih pucat tanpa noda. Ia menduga seluruh bekas lukanya telah disembuhkan oleh Lady Magic sebelum mendarat di dunia ini, kecuali tanda petir yang masih terpampang nyata di dahinya. Semua ini membuat dia sedikit malu jujur saja, dia tampak seperti korban penculikan dengan betapa rampingnya tubuh yang dia miliki dibandingkan Aragorn dan Halbarad. Hal tersebut semakin jelas ketika Halbarad terang-terangan mengejek Harry dengan gestur tubuhnya setelah melihat Harry nyaris terbawa arus sungai.
Selain suhu yang menyebalkan, ternyata arus sungai yang deras itu juga bisa sangat brengsek.
Chapter 2: A Little Village
Chapter Text
Sekitar seminggu perjalanan, mereka akhirnya menemukan sebuah desa bernama Newbury. Harry sudah menduga bahwa kehidupan di sini masih sangat sederhana dan terbelakang, tetapi ia tetap saja kaget setelah melihatnya secara langsung. Untungnya desa itu tergolong bersih, tidak seperti sesuatu yang pernah dia tonton dalam film Muggle. Hewan-hewan ternaknya beberapa berkeliaran namun masih dalam pengawasan. Sistem perbelanjaan bisa dengan cara barter atau koin. Setidaknya warga di sini terlihat cukup ramah.
Aragorn menuntunnya turun dari kuda dengan hati-hati. Sebelumnya ia telah diberikan sebuah jubah hitam oleh Halbarad, mungkin untuk menyamarkan penampilannya agar tidak begitu mencolok. Bagaimana pun juga, ia tiba di Middle Earth dengan setelan jas formal. Bahkan dengan jubah yang menutupi setengah tubuhnya, beberapa pasang mata masih melirik penasaran ke arah pakaian Harry. Sayang sekali tidak ada cara untuk menutupi sepatu pantofelnya.
Ia dibawa ke sebuah rumah di sudut desa, bersebelahan dengan sumur yang besar. Harry tidak tahu apakah kedua Ranger itu memang mengenal pemiliknya atau mereka hanya melemparkan Harry ke sembarang orang. Pria tua gendut yang menempati kediaman tersebut tampak mengerikan namun anehnya ramah, mereka berbincang tentang hal-hal yang tidak ia pahami. Mungkin tentang harga dirinya jika dia dijual sebagai budak pada pria gendut itu, entahlah.
Harry benar-benar yakin dia sedang dijadikan objek transaksi perdagangan manusia. Meskipun Aragorn dan Halbarad sejauh ini bersikap baik padanya, namun tidak ada alasan bagi mereka untuk mempertahankan Harry, bukan? Satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah menelantarkannya di sebuah desa acak untuk bekerja agar bisa melanjuti hidup. Bukan berarti dia akan mengeluh, dia cukup sadar diri, oke? Ini adalah pilihan terbaik dan satu-satunya.
Singkat cerita, Harry diberikan sebuah kamar sederhana. Sederhana dalam sudut pandangnya sebagai manusia modern adalah sesuatu seperti gubuk tua terbengkalai, lebih buruk dari Leaky Cauldron. Mereka bahkan tidak memiliki toilet dalam ruangan, tetapi ia diberi pispot dan bak mandi ada di bagian luar, gubuk kecil lainnya di dekat sumur, terpisah dari bagian rumah. Entah kenapa Aragorn dan Halbarad tidak langsung meninggalkannya, mereka ikutan tinggal di sana selama beberapa waktu. Mungkin memastikan Harry bekerja dengan baik sebagai House Elf di abad pertengahan.
Pada awalnya Harry diajari untuk mengurus hewan ternak. Halbarad benar-benar perlu disumpal sesuatu agar tidak menertawainya terus-terusan. Ketika seekor kuda menendang lumpur di bawah kakinya, yang secara langsung menyiprat pada seluruh tubuhnya, Harry tidak bisa menahan raut jijik yang keluar begitu saja. Dia hampir menangis oleh fakta bahwa tubuhnya kini kotor dan berbau seperti kotoran kuda, yang hanya menjadi alasan baru bagi Halbarad untuk menertawainya. Aragorn tidak lebih baik, meskipun Harry menghargai usahanya untuk menahan tawa, tapi dia tetap saja terkikik tiap kali melihat ekspresi kusut Harry.
Bukan salahnya jika dia membenci kotor, oke? Demi Tuhan dia berasal dari abad modern, lahir dari keluarga kaya dan diadopsi oleh keluarga kaya juga. Dia punya banyak alasan untuk memvalidasi rasa jijiknya terhadap lumpur, hewan ternak, atau apapun itu. Sayang sekali, menjadi dewasa berarti dia tidak boleh mengeluh atas sesuatu, bahwa dia harus bersyukur atas segala bantuan ini. Jadi dengan perasaan dongkol, Harry melanjuti harinya membersihkan kuda beserta kandang kotor tersebut.
Astaga, Alphard mungkin akan depresi dari alam kubur jika tahu anak semata wayangnya harus melakukan pekerjaan kotor.
Dia juga telah diajari untuk berburu sebelum tiba di desa ini. Meskipun dia diam-diam sering berbuat curang dengan menggunakan sihirnya, setidaknya para Ranger tidak perlu mengetahui fakta ini. Mereka pikir Harry memang memiliki cara berburu tersendiri ketika tidak sedang diawasi, jadi tak ada lagi yang bertanya ketika ia pulang dengan banyak hewan buruan tergantung. Ya, kecuali Tuan Hama yang menatapnya dengan mata terbelalak. Sulit mempercayai tubuh seramping itu membawa pulang banyak hewan buruan.
Ngomong-ngomong tentang tubuh ramping, tampaknya Halbarad mulai khawatir jika Harry tidak dapat bertahan hidup lebih lama bila dibiarkan terus seperti itu. Dia bersama Aragorn mulai melatihnya dengan beberapa teknik pedang, memaksa Harry untuk ikut lari pagi setiap hari, membuatnya membantu pedagang pasar dengan mengangkat berbagai karung berat, hingga menggali sumur setiap hari. Tiga hari pertama menjalaninya, dia berhasil dibuat hampir pingsan, hanya untuk menambah kesadaran Aragorn bahwa Harry benar-benar tidak terlahir untuk ini. Namun bagaimana bisa? Bahkan anak berusia 12 tahun mulai terbiasa dengan beban berat, pikirnya.
Tapi sekali lagi, Harry tidak pernah benar-benar mengeluh, tentu jika raut cemberut itu tidak masuk hitungan. Dia percaya semua ini demi kebaikannya sendiri, dan perubahan itu dapat ia rasakan dari hari ke hari. Harry semakin bugar, tidak ada perbedaan yang kontras memang, tapi kekuatan dan ketahanannya bertambah jauh. Belum termasuk kosa kata Harry yang makin berkembang semenjak tinggal di Desa. Ternyata lebih banyak bertemu orang berarti komunikasinya akan semakin membaik, terlebih lagi penduduk desa tampak sangat menerima keberadaan Harry. Mereka cukup bersemangat begitu mengetahui ada pendatang baru yang berasal dari negeri jauh, tidak memahami bahasa setempat dan jika boleh jujur, penampilannya yang tampan membantu lebih banyak dari yang ia duga.
Harry juga mulai akrab dengan si pemilik rumah. Dia jadi mengetahui bila Tuan Hama baru saja kehilangan istrinya dua tahun lalu akibat serangan Warg, Warg itu liar dan tidak berkelompok, tapi tetap menimbulkan banyak kerugian bagi desa. Naas sekali bahwa Nyonya Hama lah yang pertama kali harus berhadapan dengannya. Kedekatan mereka juga dipicu oleh masakan. Seminggu setelah kedatangan Harry di desa, dia telah mengambil alih bagian dapur untuk dirinya sendiri. Tuan Hama memang sudah sering memasak, tapi pria itu terlalu cepat puas dengan masakan sederhana yang bagi orang modern seperti Harry terasa sangat hambar.
Sejak saat itu, dia mendadak jadi terkenal di desa karena masakannya yang luar biasa, terima kasih atas mulut ember Tuan Hama. Setiap kali ada acara, Harry akan dimintai tolong untuk mengatur bagian dapur. Dia juga membuka kelas dadakan bersama warga setempat yang ingin belajar memasak, tentunya ketika penguasaan bahasa Westron-nya sudah cukup baik untuk itu. Aragorn dan Halbarad tidak bisa lebih bangga lagi melihat kemajuannya, mereka terkadang akan tampak seperti seorang ibu yang baru saja menyaksikan pernikahan anak perempuannya. Harry benar-benar dibuat heran.
Ada masa, ketika mimpi buruk Harry datang tiba-tiba di malam yang tenang. Berhubung mereka berbagi ruang tidur yang sama, Halbarad dan Aragorn akan terbangun mendengar rintihannya yang menyedihkan. Mereka tidak pernah protes, dan Harry terlalu lelah secara mental untuk merasa malu dengan dirinya sendiri. Yang tidak ia sangka adalah, Halbarad memberikannya pelukan hangat sementara Aragorn menyanyikannya sebuah lagu yang tenang. Harry tidak punya kesempatan untuk merasa terkejut, jadi dia menikmatinya. Telapak tangan besar Halbarad akan membuat gerakan halus di belakang punggung Harry sementara kepalanya diusap penuh kasih sayang oleh Aragorn.
Jika ada seseorang yang melihatnya menangis dalam diam, maka mereka tahu lebih baik untuk tutup mulut. Semua perlakuan hangat para Ranger hanya membuat kenangan tentang Alphard kembali menguasai pikirannya. Merlin, dia merindukan ayah angkatnya lebih dari apapun di dunia ini. Sudah bertahun-tahun berlalu dan Harry sempat berpikir bahwa ia telah berdamai dengan masa lalunya, namun kini, ketika dihadapkan pada perhatian Aragorn dan Halbarad, semua itu muncul kembali seperti botol kaca yang berhasil menemukan daratan di pesisir pantai. Harry meringkuk, menangis tanpa suara dan membiarkan dirinya untuk kali ini saja… ia ingin menyerap kasih sayang yang ditawarkan secara cuma-cuma oleh kedua Ranger.
Pagi harinya, tak satupun dari mereka berniat mengungkit kejadian tersebut. Semuanya berjalan seperti biasa. Harry akan memasak sarapan, Aragorn mungkin berlatih di halaman, Halbarad mencoba mengambil lebih banyak waktu tidur, dan Tuan Hama akan memeriksa barang dagangan sebelum dibawa ke pasar. Entah siapa yang memulainya pertama kali, ketika ia sadar, Harry telah terbiasa menerima rangkulan hangat di pagi hari. Dia menyukainya, membuat ingatan tentang Sirius dan Regulus turut hadir dalam arti baik. Kedua saudara laki-lakinya juga sering melakukan hal yang sama dulu.
Benar, dulu…
Satu bulan setelah kedatangannya di desa, Aragorn dan Halbarad tiba-tiba mengajak Harry untuk jalan-jalan. Mereka mengelilingi seluruh desa termasuk area perbatasan dan hutan, awalnya dia mengira mereka hanya bosan, lagi pula hal seperti ini sudah pernah dilakukan sebelumnya. Harry bahkan sudah hapal dengan pemilik setiap rumah di wilayah itu. Tapi dia memilih bungkam, tidak ada salahnya menghabiskan waktu dengan kebersamaan seperti ini. Dia selalu menyukai segala kegiatan jika Aragorn dan Halbarad berada di sana.
Dan malam itu pun tiba, ketika Aragorn menuntunnya untuk duduk di depan perapian bersama dengan Halbarad. Tuan Hama sedang berada di pub, kemungkinan besar tidak akan pulang ke rumah sampai pagi. Harry tahu ada sesuatu yang terjadi, hanya saja dia masih memilih bungkam dan membiarkan mereka berdua yang mengambil alih percakapan ini. Sepotong buah dimasukkan ke dalam mulut untuk menahan diri dari kegelisahan.
Aragorn lalu melingkarkan lengan di pundaknya, memberikan tatapan dalam penuh pengertian sekaligus rasa sayang. “Aku dan Halbarad akan pergi besok pagi. Kami harus kembali melanjutkan tugas sebagai Ranger, masih ada banyak wilayah yang harus diawasi.”
Sesuatu dalam dada Harry terasa ngilu mendengar itu. Ya, ia memang pernah mendengar cerita tentang Orc dan Warg dari mereka, ataupun makhluk lain seperti Goblin dan Troll. Tapi Sejujurnya, Harry tidak memiliki penggambaran apapun mengenai bahaya yang bisa mereka tuang. Dia mengenal Troll karena dunia sihir juga memilikinya, tetapi Troll versi mereka hidup jauh di kedalaman hutan, jauh dari jangkauan manusia. Sementara Goblin dalam dunia sihir sendiri tidak berbahaya, mereka hidup selayaknya para penyihir meskipun tanpa tongkat sihir. Hanya Orc dan Warg yang benar-benar di luar bayangannya.
Jika Nyonya Hama tewas dalam serangan seekor Warg, dan bagaimana para Orc akan membunuh siapapun karena mereka tidak memiliki akal sehat, berarti keberadaan Ranger tentu sangat dibutuhkan, bukan? Jadi mengapa Harry, yang sebenarnya bukan siapa-siapa, merasa tidak terima harus ditinggal seorang diri tanpa kedua sahabat Ranger-nya? Mengapa dia harus merasa sedih? Bukan kah mereka telah berbuat banyak hal untuk Harry, bahkan sampai menetap satu bulan di saat mereka bisa saja meninggalkannya tanpa bantuan.
Aragorn dan Halbarad sudah lebih dari cukup membantunya. Mereka tidak bisa terus-terusan menjaga anak manja seperti Harry, mereka punya tanggung jawab yang jauh lebih besar. Tidak, dia tidak manja. Dia hanya terbiasa dengan kehadiran mereka selama ini. Dia telah menerima seluruh rangkulan itu, pelukan hangat di malam hari, nyanyian pengantar tidur, usapan lembut di kepala, dan perawatan yang dia terima tiap kali tubuh Harry melampaui batasnya. Sesuatu yang selalu dilakukan Alphard setiap hari.
Apakah dia sanggup kehilangan semua itu?
Apakah dia akan ditinggal lagi?
Apakah dia tidak akan menemui mereka lagi?
Sebuah tepukan singkat pada lututnya menyadari Harry dari lamunan. Halbarad terlihat sangat khawatir, “Harry kau baik-baik saja?”
“Ah— Tentu.” Dia tersenyum. “Jadi kalian pergi… apakah kalian akan kembali?”
Aragorn tersenyum penuh pengertian. “Tentu, tapi kami tidak bisa menentukan pastinya kapan. Mungkin ini menjadi perjalanan tiga bulan, enam bulan, atau lebih dari itu, kami tidak tahu.”
“Kami pasti akan kembali. Jangan khawatir Harry,” Halbarad melanjuti, “Suatu saat nanti mungkin kau bisa ikut bersama kami. Tapi sekarang belum saatnya, dunia luar terlalu berbahaya untukmu. Aku ingin kau menikmati kehidupan yang damai lebih lama lagi.”
Meski sebenarnya Harry lebih dari siap untuk menghadapi apapun di luar sana, namun ia tetap mengangguk. Orc atau apapun, dia yakin sihirnya lebih dari cukup melindungi semua orang. Tapi dia telah belajar banyak bahwa kesombongan atas ketidaktahuan bukanlah sesuatu yang layak diterapkan. Mungkin dia memang belum siap, bokongnya bahkan belum terbiasa untuk duduk lama di atas kuda tanpa mengandalkan sihir. Staminanya belum sekuat mereka. Pengetahuannya akan alam bebas juga masih terbatas. Westron, meskipun dia sudah mampu menggunakannya, namun logat dan tata bahasa Harry masih cukup berantakan.
Benar, setelah dipikir-pikir lagi dia memang jauh dari kata siap. Menetap di Newbury adalah satu-satunya pilihan, dia bisa membantu warga setempat sekaligus mempelajari banyak hal. Mereka tidak memiliki perpustakaan umum, hanya ada toko buku kecil yang isinya saja tidak sampai 20 buku. Bukan berarti tidak ada ilmu yang bisa ditempuh. Pengalamannya mengajari bahwa di mana pun kau berada, ilmu akan selalu hadir dalam bentuk apapun, dan kau harus menghargainya meskipun itu hanya sekecil kerikil.
“Baiklah, tapi bisa kah kalian membawakanku buku? Aku ingin lebih banyak membaca.” Dia ingin bilang membaca agar pengetahuannya tentang dunia ini bertambah, tapi sial, itu akan terdengar sangat aneh. Mereka belum tahu apapun tentang dirinya, dan Harry tahu lebih baik bahwa sekarang bukan saat yang tepat. Mungkin suatu hari nanti, ketika dia siap, dia akan mengatakan segalanya. Tentang sihir, kematian, dan apa yang membuat dia berakhir di sini.
“Tentu saja. Jika memungkinkan, aku bisa bertanya apakah para Elf mau mengizinkanku meminjam beberapa dari koleksi mereka,” Aragorn berujar, Harry tanpa sadar mengerutkan dahi.
“Elf? Kau akan pergi ke sana?”
“Tidak menutup kemungkinan bahwa kami akan melewati dan mampir di Rivendell. Lord Elrond sangat murah hati, kita berharap saja dia mau meminjamkan beberapa bukunya yang bersifat umum. Kau mungkin juga bisa mempelajari Sindarin, bahasa para Elf.”
Ah, Harry memang sudah diberitahu bahwa di dunia ini mereka memiliki lebih dari satu ras makhluk hidup. Aragorn dan Halbarad sudah pasti manusia biasa, atau Men jika merujuk pada penggolongan abad ini. Lalu ada Elf, yang disebutkan sebagai anak pertama Iluvatar (Men adalah yang kedua).
Meski berasal dari pencipta yang sama dan memiliki fisik hampir serupa, namun karakteristik mereka jauh berbeda. Elf pada dasarnya adalah makhluk abadi, tidak akan menua setelah mencapai usia dewasa dan tidak akan mati kecuali terbunuh atau memudar. Harry belum benar-benar yakin apa itu memudar, Aragorn hanya menyebutnya begitu. Bahkan secara fisik, para Elf dikaruniai kecantikan yang luar biasa di atas segala makhluk bumi. Berkulit halus, tidak ada body hair, tinggi, proporsional, memiliki pendengaran dan penglihatan yang tajam, dan di masa ini semua golongan Elf menjaga rambut mereka agar tetap panjang.
Harry mencoba abai dengan bagaimana Halbarad menekankan bahwa Harry memiliki kulit dan kecantikan yang setara para Elf. Dia yakin itu karena dia berasal dari zaman modern, di mana manusia mulai jarang terpapar sinar matahari dan mulai mengerti produk-produk perawatan kulit. Ah, dia hampir lupa bahwa ia juga seorang Rosier. Keluarganya memiliki keberuntungan lebih tentang daya tarik fisik. Bukan pertama kalinya seseorang mengatakan dia tampan atau cantik, tapi tentu saja ini pertama kalinya dia disandingi oleh makhluk yang diagung-agungkan sebagai ras sempurna.
Harry tidak mau besar kepala, oke? Apalagi Halbarad tidak berhenti menggodanya. Aragorn sekali lagi tidak jauh lebih baik, dia terus membenarkan bahwa Harry tampak seperti Elf jika saja telinganya tidak terlihat. Itu sangat konyol! Mereka sendiri yang bilang bahwa para Elf memancarkan cahaya bagi ras lain yang melihatnya, sedangkan dia sendiri hanya manusia biasa, sama sekali tidak mengeluarkan imajiner seperti itu. Bahkan beberapa penyihir di masanya berkata aura Harry lebih seperti malaikat maut. Sial, itu pasti efek samping dari melakukan kesepakatan dengan Death.
Kemudian ada Dwarf dan Hobbit. Tidak seperti Elf dan Men, mereka bertubuh kecil. Dwarf lebih besar dari Hobbit dan juga lebih kuat, secara garis besar Harry menyimpulkan bahwa Dwarf di sini memiliki cukup banyak sifat Goblin dari dunianya. Haus kekayaan, harta karun, emas, perak, atau apapun itu. Meskipun mereka lebih konyol dan berisik, sama sekali jauh dari Goblin di dunia Harry. Hobbit di lain sisi, seperti kebalikan dari semua sifat ras di Middle Earth. Mereka bukan petarung, mereka tidak memiliki hasrat berkuasa, mereka hidup untuk menikmati makanan dan menari. Sangat damai, Harry sampai iri mendengarnya.
Ketika matahari telah terbit, ia mendapati matanya memandang nanar pada sosok para Ranger. Mereka sedang mempersiapkan kuda dan perbekalan, sementara Harry menyaksikan semua itu dengan hati berat. Aragorn lebih dari sadar, terbukti dengan tindakannya yang mendekati Harry sambil tersenyum lembut.
Yang membuat Harry kaget adalah… pria itu mengecup pelipisnya penuh kasih, kemudian memeluk Harry seperti seorang ayah. Dia tertegun untuk beberapa saat, lalu berhasil membalas pelukan tersebut sambil menahan air mata. Terkadang wujud mudanya membuat Harry tetap mempertahankan sifat anak muda yang rentan terhadap hal-hal emosional. Itu menyebalkan, sungguh. Dia tidak seharusnya ingin menangis hanya karena ditinggal sementara. Merlin, mereka bahkan bukan pergi berperang!
“Jaga dirimu baik-baik, Harry.”
Hanya sesaat setelah Aragorn melepaskannya, Harry langsung dibawa ke dalam dekapan Halbarad. Perbedaan tinggi mereka membuat pria itu meletakkan dagunya di atas kepala Harry, menggumamkan beberapa kata sebelum meninggalkan kecupan di sana. “Jangan menangis jika tidak ada yang membantumu membersihkan diri dari kotoran kuda.”
Itu membuatnya tertawa. “Hey, aku sudah terbiasa sekarang. Lagi pula, waktu itu aku tidak menangis!”
“Benar, hanya merengut jelek seperti anak kecil yang menjatuhkan permennya.” Kalimat barusan sontak mendapati pukulan kecil pada perut Halbarad, yang membuat kedua pria itu tertawa.
Harry membiarkan dirinya terbuai dalam pelukan mereka. Kemudian setelah beberapa saat terdiam, ia akhirnya memberanikan diri untuk berkata, “Aku akan merindukan kalian.”
“Kami juga, Harry.” Aragorn mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Sebuah jubah hijau tua yang sangat cantik, bros di bawah tudung kepalanya sendiri berwarna perak. Meskipun tidak terlihat baru, namun bahannya masih sangat terawat. Dia dengan mudah melingkarkan kain itu pada Harry, yang membuat alisnya menukik bingung. “Untukmu. Jubah ini dibuat oleh para Elf Rivendell, akan sangat cocok dikenakan olehmu.”
“Bukan kah ini milikmu?”
“Benar, dan sekarang menjadi milikmu.”
Harry tidak tahu harus merespon seperti apa, mata hijaunya menatap Aragorn penuh kasih sekaligus binar kebahagiaan. “Terima kasih, Aragorn. Aku akan menjaganya dengan baik.”
Sebelah lengannya tiba-tiba saja ditarik oleh Halbarad, telapaknya dibuka dan diletakkan sebuah pedang pendek di sana. Itu terlihat tajam dan terasah dengan baik. “Aku mendapatkan ini dari ayahku ketika berulang tahun ke-15. Tapi aku tumbuh lebih cepat, jadi aku hanya sempat menggunakannya sebentar. Benda ini jadi terlalu kecil untuk orang sepertiku, tapi akan cocok denganmu.”
Ia mendengus geli, menangkap dengan jelas ejekan yang tersembunyi di sana. “Apa kau baru saja menyebutku pendek?” Pria itu menyeringai, dan Harry memutar matanya sebelum tersenyum lembut. “Terima kasih Halbarad. Tapi jika ini dari ayahmu, bukan kah itu sangat berarti? Apa kau yakin akan memberinya kepadaku?”
“Lebih baik dari pada tidak digunakan sama sekali. Pedang itu butuh tuan kecilnya yang baru. Tapi ketahuilah Harry, meskipun terlihat kecil, pedang ini ditempa dengan baik dan pernah kugunakan untuk membunuh Warg. Sebelum kau bisa mendapati yang lebih baik, dia akan dengan senang hati menjadi teman latihanmu.”
Apakah mereka tidak bisa menjadi lebih perhatian dari ini? Harry benar-benar dibuat terdiam oleh semua kebaikan yang dia terima. Padahal mereka baru bertemu satu bulan lebih, bagaimana bisa mereka mempercayakan benda-benda berharga seperti ini kepadanya? Oh Tuhan, bahkan sebenarnya kedua pria ini jauh lebih muda dibandingkan Harry, tapi kenapa dia bertindak seperti seorang anak lagi jika dihadapkan pada Aragorn dan Halbarad? Ini pasti efek wujud mudanya, sialan. Dia pernah mengalami yang serupa pada anak baptisnya sendiri.
Harry kemudian memeluk mereka berdua sangat erat, melontarkan banyak kalimat terima kasih sebelum akhirnya mampu untuk menghadapi kepergian para Ranger. Jiwa mudanya sangat ingin memberikan lambaian selamat tinggal, namun tidak, dia menahannya. Dia berusia 142 tahun, demi janggut Merlin! Sisi dewasanya akan merasa sangat konyol jika dia berbuat lebih jauh lagi.
Chapter 3: Back
Notes:
Guys I'm so so sorry if the ship has changes... walau aku pengen banget bikin triad antara harry dan elves tapi aku rasa untuk cerita yang ini gak bakal cocok. Mungkin aku bakal buat cerita baru yang bukan long story atau cuma oneshot untuk karakter lain kayak haldir, halbarad, and even boromir because I love them sooooooooooo much!! Mungkin juga aku bakal buat 1/2 filler episode di cerita ini dimana harry berpasangan dengan alternative ship lain
Chapter Text
Tidak terasa, sudah dua tahun ia menetap di Newbury. Harry mulai menyukai desa tersebut, bahkan dia sudah terkenal di antara para warga, sampai anak-anak di sana sering mencarinya untuk diajak bermain. Harry menyukai anak kecil, jadi dia tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Alasan utama yang membuat dia dicintai anak-anak desa adalah karena dia sering memberikan mereka hadiah. Bukan sesuatu yang mewah, tetapi berarti banyak bagi seseorang yang jarang mendapatkan pemberian.
Biasanya anak perempuan akan mendapati karangan bunga, boneka rajut, dan pita rambut. Sementara itu, anak laki-laki biasanya mendapati mainan yang terbuat dari kayu, bisa berupa figur hewan atau pedang kecil. Tuan Hama sendiri cukup kaget mengetahui Harry mampu membuat semua itu, tidak tahu saja dia bahwa selama ini ia menggunakan sihir transfigurasinya. Tapi lebih dari apapun, bocah-bocah itu sangat menyukai permen dan manisan yang ia bagi. Tuan Hama sampai terpikirkan ide bisnis baru hingga mendorong Harry membuka kedai kue.
Yahh... itu berhasil. Harry benar-benar diberikan sebuah gerobak bekas untuk menjual kue beserta manisan yang dia buat. Pengunjung yang datang dari luar pun terkadang memborong semua dagangannya untuk dijadikan oleh-oleh. Pendapatan mereka meningkat, terutama dengan pasokan daging dari dagangan Tuan Hama melonjak drastis berkat campur tangan Harry. Mereka berhasil merenovasi rumah tua Tuan Hama menjadi sesuatu yang lebih nyaman dan indah. Sebagian besar pekerjaan renovasi ia lakukan ketika Tuan Hama pergi untuk mengunjungi saudaranya di desa lain selama beberapa hari.
Saat kembali, Tuan Hama hampir pingsan melihat betapa berbedanya rumah ini. Semua kotoran terangkat tanpa sisa, kayu tua tergantikan oleh kayu baru yang lebih kuat, perabotan rumah tangga serba baru, bahkan kini ia memiliki ruang berkumpul dengan banyak kursi di sekitar perapian. Harry ragu apakah manusia di abad ini sudah mengenal sofa, untuk menghindari penampilan yang mencolok, dia membuat kursi kayu dengan bantal duduk di atasnya. Dapur juga telah berkembang pesat, ada jendela yang memberikan sinar alami dari luar. Ia juga merawat rumput di pekarangan rumah, serta menanam beberapa tumbuhan baik di dalam maupun luar. Bahkan gubuk tempat mandi pun telah ia perbesar dan dipasangkan bak mandi yang lebih layak.
Percayalah, Tuan Hama nyaris menangis ketika berhadapan dengan Harry. Dia terus-terusan berkata bahwa keberadaannya merupakan anugerah terindah dari dewa dewi. Itu cukup mengagetkan, sungguh, dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Lagi pula semua perubahan ini untuk dirinya sendiri juga, Harry tidak bisa terus-terusan tinggal di tempat kumuh. Kamarnya kini telah menjadi sesuatu yang dapat ia toleransi, dan jika warga sekitar melihatnya, mereka mungkin akan bergosip bahwa Harry merupakan bangsawan yang hilang. Setidaknya, dua tahun terakhir ini berjalan lebih nyaman.
Harry juga memiliki beberapa teman di sini. Seorang pemuda berusia 27 tahun bernama Aerion (Harry biasa memanggilnya Rion) dan istrinya Lorelea. Mereka merupakan pasutri yang menikah beberapa bulan sebelum ia tiba di Newbury. Keduanya sangat ramah dan hangat, sering mengundang Harry untuk makan siang di sana ataupun sekedar menghabisi sore hari dengan berbincang. Lorelea mempelajari banyak resep makanan baru berkat Harry, wanita muda itu sampai memanggil Harry sebagai adik laki-lakinya. Rion tidak jauh berbeda, dia senang memperkenalkan anggota termuda mereka dengan banyak hal termasuk sejarah manusia. Ternyata, mereka memiliki kesamaan dalam hal membaca buku.
Mungkin, dia telah menikmati Newbury jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Di usia ke-144 tahun, Harry menyadari alasan mengapa setiap lansia di dunianya memiliki mimpi untuk menghabisi masa tua mereka di sebuah desa. Yah, dia berhasil menjadi bagian dari para lansia itu sekarang.
Masuk ke dalam kamar, Harry mengeluarkan sebuah koper kecil dari bawah kasur dan membukanya. Itu adalah koper yang dia miliki dari dunia asalnya, mengecil dan masuk ke dalam salah satu saku jas yang ia kenakan saat tiba di Middle Earth. Dia cukup terkejut ketika menyadari keberadaan benda tersebut untuk pertama kalinya, namun tidak pernah memiliki kesempatan untuk membukanya karena Aragorn dan Halbarad selalu berada di sekitar Harry. Barulah saat mereka berdua pergi, ia bisa memperbesarnya dan masuk ke dalam sana.
Ternyata kaum Valar tidak melemparkan Harry ke dunia mereka tanpa persiapan. Di sana ia menemukan seluruh isi vault utama milik keluarga Rosier dan Black dari Gringotts Bank, termasuk beberapa perhiasan dan pusaka kuno yang tidak mengandung sihir berbahaya di dalamnya. Ruangan lain berisikan beberapa setel pakaian formal dan semi formal, ruang kerja, kamar tidur, kamar mandi, serta perpustakaan kecil yang hanya mencakup 1/4 dari milik Rosier dan Black. Mereka bahkan membawakan Harry album fotonya yang berharga.
Malam pertama tanpa para Ranger ia habisi dengan menangisi potret dirinya bersama keluarga Black.
Sore hari itu terasa hangat, karena rumah Tuan Hama berada di sudut desa sehingga riuh dari pusat perbelanjaan maupun pub besar tidak mengganggu ketenangan mereka. Harry menghabisi waktunya dengan duduk di pekarangan rumah, di atas rumput taman yang dilapisi kain untuk duduk, persis seperti piknik. Dia berbaring telentang sambil membaca buku yang dipinjam dari Rion, di atas dadanya duduk seekor kelinci putih yang sangat manis. Harry membawanya dari hutan beberapa saat lalu ketika menyadari ia tidak memiliki keluarga. Bulunya yang lembut membuat Harry tidak bisa berhenti mengelusnya.
Ini sudah tahun kelima sejak Aragorn dan Halbarad meninggalkan desa. Tidak peduli seberapa besar ia mencoba, Harry tetap saja merindukan keberadaan mereka. Ejekan Halbarad dan perhatian Aragorn, dia ingin merasakannya kembali. Apakah mereka benar-benar harus menghabiskan 5 tahun di alam bebas? Atau mungkin kah terjadi sesuatu yang berbahaya? Harry tidak bisa untuk tidak khawatir. Dia takut mereka terluka, atau skenario terburuknya mati dalam serangan. Sial, belakangan ini ia menjadi sulit tidur karena memikirkan hal tersebut.
Tiba-tiba saja, suara tapal kuda berhasil mengalihkan perhatiannya. Ia segera duduk dan menggendong kelinci tersebut, berdiri lalu melihat siapa kah yang tiba di desa sore hari begini. Seketika senyumnya mengembang lebar setelah mengetahui siapa yang tiba di desa, itu Aragorn dan Halbarad! Mereka berdua akhirnya benar-benar menepati janji untuk datang kembali menemui Harry.
Harry tidak membuang-buang waktu lagi, ia langsung menabrak Aragorn dengan pelukannya tepat ketika pria itu baru saja turun dari kuda. Kedua lengan dilingkarkan di leher kecoklatan, wajahnya ia sandarkan pada bahu yang lebih besar. Aragorn sendiri memeluk pinggang Harry dengan erat, nyaris membuat pemuda itu naik ke udara.
"Kau kembali! Aku pikir kau tidak akan kembali lagi, kalian benar-benar pergi sangat lama." Harry tidak bisa menahan keluhannya, mungkin setetes air mata telah jatuh tanpa diminta. Tentu saja bagi seseorang yang hidup di era modern, di mana perjalanan luar negeri bahkan hanya memakan beberapa jam di pesawat, dia merasa lima tahun itu adalah waktu yang sangat lama untuk berkelana. Harry hampir putus asa dan berpikir mereka tidak akan bisa bertemu kembali.
Aragorn mengecup pelipisnya sebagai permintaan maaf, tersenyum lembut sambil mengusap punggung Harry dengan tangannya yang besar. "Maaf Harry, ada banyak hal yang terjadi di luar sana. Aku benar-benar minta maaf telah membuatmu menunggu begitu lama. Bagaimana kabarmu?"
"Sangat baik, ada banyak hal yang bisa kubagi dengan kalian nanti."
Kemudian ia berbalik, menghadap Halbarad yang telah menyeringai geli sambil merentangkan kedua tangan. Harry tertawa, menyambutnya dalam dekapan kuat dan memekik kecil begitu ia diangkat ke atas. "Halbarad, aku kaget rambutmu tidak berubah putih. Kau membuatku menunggu selama 500 tahun, aku harap kau punya cerita yang bagus untuk dijelaskan."
Halbarad tertawa. "Jika aku membuatmu menunggu selama 500 tahun, Harry, maka seharusnya aku disambut oleh kakek-kakek bungkuk bersama tongkat jalannya. Tapi lihat dirimu—" kedua lengannya mencubit pipi Harry, "kau bahkan tidak berubah sama sekali, bahkan tinggimu tidak bertambah. Apa Tuan Hama tidak memberimu makan?"
"Kau membuat Tuan Hama terdengar jahat. Aku makan seperti biasa, bukan salahku jika tinggiku menetap dan kalian semua terlihat seperti pohon berjalan." Sungguh, dia sangat ingin memutar matanya sekarang.
Aragorn kembali mendekat, menyisir helai rambut Harry dengan jari-jari tangannya yang besar, menyadari bahwa waktu telah bekerja dengan baik pada benda itu. Kini, pemuda di hadapannya tidak lagi berambut pendek seperti terakhir kali mereka bertemu, rambutnya sudah tumbuh hingga menyentuh pinggang, sesuatu yang sempat membuat kedua Ranger nyaris tak mengenali Harry. "Rambutmu sudah sangat panjang..."
Halbarad mengangguk dari samping, ikut membelai kepala Harry dan merasakan kehalusan dari rambut hitam yang segelap jelaga. Teman kecilnya kini benar-benar tampak mempesona dengan penampilan baru itu, seolah tak satupun orang dapat memalingkan wajahnya setelah mereka melihat Harry. "Kau semakin cantik. Aku yakin sudah banyak dari orang-orang desa yang mencoba melamarmu."
"Kau berlebihan."
"Tidak, kami hanya mengatakan yang sesungguhnya."
Mencoba abai dengan semua itu, ia menarik lengan Halbarad dan Aragorn setelah mereka mengikat kudanya di kandang kuda, menuntun kedua pria itu untuk segera memasuki rumah. "Ayo masuk, kalian harus mandi selagi aku menyiapkan pesta penyambutan."
Para Ranger tidak dapat menahan kekehan geli mereka melihat antusias si pemuda. Harry tampak seperti seorang anak yang baru saja menyambut kepulangan ayah dan pamannya dari militer. Menatap sekali lagi ke kediaman Tuan Hama, lalu masing-masing dari mereka memperlihatkan raut kebingungan yang berbeda. Aragorn menaikkan alis, sementara Halbarad tampak seperti tengah memancing lalat untuk masuk ke dalam mulutnya. Ternyata bukan hanya Harry yang terpengaruh oleh waktu itu sendiri... rumah ini, bahkan memiliki lebih banyak perubahan dari apa yang mereka bisa bayangi.
Ranger yang lebih muda berkomentar, "Kita mungkin melewatkan banyak hal, terlalu banyak yang telah terjadi dalam lima tahun terakhir."
"Kau benar, Aragorn. Aku tadi hampir berpikir kita berada di rumah yang berbeda jika bukan karena Harry duduk di depannya." Mata coklat Halbarad beralih. "Apa Tuan Hama menemukan harta karun kurcaci? Atau seorang dermawan telah berkunjung ke sini dan berpikir alangka baiknya jika dia bisa merenovasi rumah tua itu."
Oh, respon mereka benar-benar sesuai dengan bayangan Harry, dia menyeringai puas. Inilah alasan lain kenapa dia selalu menunggu kepulangan Aragorn dan Halbarad, Harry merasa perlu membuat bangga para Ranger itu dan mungkin sedikit memanjakan mereka dengan tempat tinggal yang lebih nyaman. Dia bahkan menambahkan kamar di dalam rumah agar mereka tidak perlu berdesak-desakan di satu ruangan yang sama, juga agar dia lebih memiliki privasi tentang sihirnya.
"Kalian semua berlebihan. Aku dan Tuan Hama telah meningkatkan penghasilan dari dagangan kami, lalu memutuskan untuk merenovasi rumah. Bagaimana menurutmu?"
"Luar biasa, temanku. Kau baru saja mengubah rumah tua menjadi sesuatu yang indah seperti yang dimiliki para Hobbit di Shire," Aragorn memuji.
"Benar kah? Kalau begitu kau harus membawaku ke sana suatu hari nanti. Aku belum pernah bertemu dengan ras lain selain manusia. Tapi kalian benar-benar harus mandi dulu sekarang, sana!"
Mendengar itu, Halbarad menggelengkan kepalanya dengan geli. "Baiklah Nyonya."
"Halbarad!!"
Masakan Harry selalu luar biasa. Aragorn dan Halbarad telah menghabiskan begitu banyak piring untuk menyantap sesuatu yang lezat setelah bertahan hidup dengan apa adanya di tengah hutan. Aragorn yakin, jika para Hobbit bertemu Harry, mereka bahkan akan mengerumuninya hanya untuk mengetahui resep apa yang dia gunakan. Para Elf mungkin juga menyukainya, Harry mampu mengubah berbagai jenis sayuran menjadi hidangan yang lebih memanjakan lidah, namun anehnya tetap sehat dan tidak hambar.
Mereka menghabiskan banyak waktu untuk berbincang di meja makan yang telah berubah menjadi meja panjang. Tuan Hama sendiri izin undur diri karena memiliki keperluan lain di luar, meninggalkan mereka bertiga dalam suasana yang hangat dan menenangkan. Harry berhasil membuat Aragorn menyanyi, dia benar-benar menyukai suara pria itu dan bagaimana lagu yang dia nyanyikan terdengar seperti menyimpan banyak cerita. Dengan kepala disandarkan pada bahu Halbarad, ia memejamkan kedua mata dan membiarkan irama tersebut memenuhi dirinya, sambil menikmati bagaimana jari-jari sang Ranger bergerak di rambutnya.
"Harry, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu," Halbarad tiba-tiba buka suara. Membuat yang lebih muda terbangun dan bangkit dari posisi santainya.
"Apa itu?"
"Sebenarnya kami sudah lama ingin menanyakan ini, hanya saja waktu itu kita semua terkendala bahasa. Sekarang, apa kau ingat saat pertama kali kita bertemu di hutan itu?" Melihat anggukan Harry, ia melanjuti, "Dan apa kau ingat apa yang terjadi sebelumnya? Apa yang membuatmu berada di sana?"
Harry terdiam. Aragorn bisa melihat bagaimana dia tampak gelisah meskipun pemuda itu menutupinya dengan sangat baik. Selain masa-masa mereka di tengah hutan, ketika dia dan Halbarad menemukan anak itu untuk pertama kali, Aragorn tidak pernah lagi melihat Harry tampak gelisah. Meskipun dia tampak sangat muda, mereka berdua cukup terkejut untuk mengetahui betapa tenangnya pemuda itu. Mereka belum mengetahui berapa usia Harry sebenarnya, tapi dia jelas bukan seorang remaja. Tidak ada remaja yang bertingkah begitu dewasa, begitu tenang, begitu cerdas, dan pandai menangani berbagai situasi.
Memang, Harry awalnya bersikap linglung dengan mereka. Dia tampak seperti anjing yang tersesat, butuh waktu baginya untuk memproses semua ini, seolah-olah dia datang dari dunia yang berbeda. Aragorn tidak pernah lupa bagaimana cara anak itu memandang sekeliling tempat saat pertama kali mereka bepergian untuk mencari desa, betapa bingungnya dia ketika harus mandi di sungai, canggung di atas kuda, atau melihat Newbury seolah-olah dia baru saja menginjakkan kaki di bulan. Jangan lupakan soal pakaian awalnya, begitu berbeda dari apapun yang pernah Aragorn lihat, meskipun sekarang dia telah menyesuaikan diri dengan pakaian setempat.
Namun selain semua itu? Harry tidak pernah mengeluh. Aragorn tahu dia benci kotor hanya dengan melihat gelagatnya, tapi sekali lagi, dia tidak mengeluh. Dia pandai menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan baru, mempelajari Westron begitu cepat meski dengan buku terbatas. Aragorn pernah melihat Tuan Hama merasa tersinggung ketika Harry mengajukan diri untuk mengambil alih bagian dapur, mereka sempat berdebat, tetapi semua itu berakhir dengan baik karena Harry sangat pandai menangani situasi meski dengan kosakata terbatas.
Jika tidak melihat tampilan fisiknya, mereka akan menduga Harry adalah pria matang yang telah menjalani banyak hal dalam hidup. Belum termasuk sifat anggunnya ketika minum teh, membaca buku, atau makan. Yavanna, Aragorn bahkan mendengar Halbarad berbicara tentang cara jalan Harry yang terlihat seperti bangsawan Elf. Pemuda itu benar-benar teka-teki bagi mereka berdua selama lima tahun. Melihatnya sekarang tidak mengalami perubahan fisik apapun selain rambut, semakin menambah rasa penasaran Aragorn. Memang tidak mudah melihat perubahan usia pada diri pria matang, namun untuk seseorang yang tampak berusia 18 tahun, seharusnya Harry masih menjalani proses pendewasaan. Tetapi sekali lagi, auranya benar-benar berbeda dengan wujud fisiknya, seolah dia memiliki dua rentang usia yang berbeda dalam satu tubuh yang sama.
Masih menunggu keterdiaman Harry, Halbarad melanjuti pertanyaannya, "Dari mana kau berasal, Nak? Kenapa kau begitu berbeda?"
Aragorn sendiri tetap diam, membiarkan temannya memimpin arah pembicaraan ini. Mereka sudah sepakat untuk tidak mendesak Harry, atau membuatnya terkesan seperti penuntutan. Mereka hanya ingin Harry jujur, bagaimana pun juga mereka telah menghabiskan banyak waktu bersama, dan sebagai Ranger, sudah menjadi tugas keduanya untuk memastikan segala sesuatu tetap aman. Aragorn menyayangi Harry seperti keluarganya sendiri, dia yakin pemuda itu bukan ancaman, dia hanya perlu tahu.
Harry akhirnya bergerak, mengambil secangkir teh dan meneguknya dengan anggun. Semua kegelisahan itu sirna seketika, dan tidak ada yang luput dari perhatian kedua Ranger. Pemuda itu begitu tenang. "Aku rasa aku tidak bisa menyimpannya lebih lama lagi. Ketahuilah bahwa aku tidak berniat menyembunyikannya, aku hanya perlu memastikan respon seperti apa yang akan kalian beri. Tidak semua orang memiliki respon yang baik tentang ini, jadi maafkan aku jika aku menjadi waspada."
Sebuah tangan diulurkan untuk menggenggam miliknya yang lebih kecil, Harry tersenyum pada Aragorn. "Tidak ada sedikitpun niat kami untuk meragukanmu, saudaraku. Aku telah melihat dan mendengar banyak hal yang bagi sebagian orang mustahil, aku rasa tidak ada lagi yang bisa mengejutkanku."
"Oh, kau akan tetap kaget dengan yang satu ini, kujamin." Harry terkekeh. "Maksudku, aku sendiri belum benar-benar pulih dari keterkejutan itu. Aku bisa memahaminya jika kalian tidak mempercayaiku."
"Omong kosong, Harry. Kami akan selalu mempercayaimu, bahkan jika kau bilang orang tuamu adalah Elf yang hilang," Halbarad meyakinkan.
"Kenapa kau sangat bersikeras untuk menyamaiku dengan Elf? Aku sama sekali bukan bagian dari mereka, tidak mengenal mereka, dan tidak memiliki keturunan dari mereka, Halbarad."
Meskipun tampak enggan mempercayainya, namun pria itu tetap mengalah. Dia dan Aragorn sudah melewati banyak perdebatan tentang ras asli Harry, dan tentu saja, Halbarad adalah yang paling kuat menyuarakan bahwa Harry masih memiliki hubungan dengan para Elf. Cukup mengecewakan jika semua itu salah.
"Begini..." Harry memulai. "Aku tahu ini akan terdengar gila, tapi aku tidak berasal dari dunia ini."
Aragorn langsung menegakkan punggungnya. "Maksudmu, kau bukan dari Arda?"
"Tapi... bagaimana mungkin?" Halbarad menimpali. Dia belum pernah mendengar sesuatu seperti ini sebelumnya. Satu-satunya hal termustahil yang pernah ia tahu dan terbukti kebenarannya adalah... cerita tentang sosok Glorfindel yang dihidupkan kembali oleh kaum Valar. Ketika Halbarad mendengar itu dari Aragorn, ia menolak percaya, sampai akhirnya dia tiba di Rivendell dan berhadapan langsung dengan sosok Elf yang dimaksud.
Harry memaklumi reaksi mereka, jika dirinya yang berada di posisi itu pun, dia juga akan sulit untuk percaya. "Tidak kah aneh menurutmu, ada seorang pemuda yang tampak sangat sehat, namun tidak mengerti bahasa umum dunia ini? Tidak tahu tentang apapun bahkan jenis-jenis ras yang kalian punya. Itu karena di duniaku, semuanya berbeda. Maksudku, tidak semuanya berbeda, ada beberapa hal yang sama namun itu tetap saja berbeda dengan apa yang kalian miliki di sini."
"Aku tidak tahu apakah aku ingin mendengar tentang duniamu terlebih dahulu, atau bagaimana kau bisa tiba di sini."
"Percayalah Halbarad, aku tidak tahu banyak tentang alasan mengapa aku berada di sini." Harry mendesah lelah. "Kalian tidak salah ketika berkata aku sangat berbeda. Aku belum mengetahui banyak tentang ras dan jenis-jenisnya di dunia ini. Mungkin aku manusia, tapi bukan manusia biasa seperti kalian, aku..." Sambil menarik napas panjang, Harry memperhatikan mereka berdua dengan penuh pertimbangan. "Aku memiliki sihir."
"Kau... istari?" Dahi Aragorn berkerut.
"Aku tidak yakin tentang penyihir di sini. Kau berkata bahwa hanya ada 5 penyihir, dan mereka berada pada tingkatan yang berbeda dari manusia, tetapi juga tidak sama dengan kaum Valar. Sedangkan di tempat asalku, ada begitu banyak ras namun pada dasarnya kami semua tetap tergolong manusia. Penyihir pada dasarnya adalah bagian dari makhluk sihir, kami memisahkan diri dari manusia biasa yang disebut Muggle. Jadi penggolongan ras dalam sistem sihir dan Muggle sangat berbeda, kami memiliki pengetahuan lebih banyak tentang macam-macam makhluk, sementara Muggle hanya mengenal empat jenis ras berdasarkan karakteristik fisik dan etnis manusia."
Ah, ini akan menjadi pembicaraan yang panjang, Harry berpikir dalam hati sebelum melanjutkan, "Di duniaku, kami memiliki jutaan populasi penyihir dan makhluk sihir. Tapi jika dibandingkan Muggle, populasi kami tidak lebih dari 1% populasi mereka, sangat sedikit, itulah yang membuat kami memisahkan diri. Ugh ini sangat kompleks, akan sulit menjelaskannya tanpa pertanyaan."
Mendengar itu, Halbarad mencoba memahami semua informasi yang baru saja diberi. Namun satu hal yang bisa dia tangkap adalah, "Apakah peradaban di duniamu sudah sangat maju?"
"Oh, jadi kau menyadarinya. Maaf aku tidak bermaksud menyinggung, tapi melihat Arda sama seperti balik ke 1000 tahun yang lalu di duniaku, mungkin juga lebih. Di masaku, lebih sulit menemukan hutan ataupun unsur alam lainnya ketimbang pemukiman. Populasi manusia sudah memenuhi sebagian besar bumi, begitu pula penemuan mereka dalam segala aspek. Kami memiliki banyak bahasa, setiap wilayah dan negara memiliki bahasa mereka masing-masing, tapi tidak satupun yang terdengar seperti Westron."
"Tunggu, Harry." Aragorn menghentikannya, dia tampak memiliki banyak pikiran. "Aku sangat senang mendengar cerita tentang duniamu, tapi ada hal yang lebih penting untuk dibahas saat ini. Aku rasa kau harus segera menemui Lord Elrond, atau jika kita beruntung, mungkin Gandalf."
"Kenapa?"
"Kau tahu hanya ada 5 penyihir di sini, dan kedatanganmu akan menimbulkan banyak perdebatan, terutama di masa-masa sekarang, ketika ada bahaya yang sedang mengancam seluruh Middle Earth. Akan lebih bijak jika Lord Elrond bertemu denganmu, dia juga bisa menjamin keselamatanmu untuk ke depannya."
"Tunggu, maksudmu, aku terancam bahaya hanya karena aku memiliki sihir?"
"Sesungguhnya bukan hanya kau Harry, seluruh makhluk hidup tengah mendapati ancaman Sauron bersama antek-anteknya. Namun kau, dengan status sihirmu, akan berpotensi lebih terancam jika terdengar di telinga yang salah."
Sial, Harry bisa melihat ke mana arahnya semua ini. Jadi begini kah akhirnya? Menjadi alat peperangan lagi? Sungguh, betapa hebatnya hidup Harry di berbagai jenis dunia. Dia mendengus kasar dalam hati. Apakah hidupnya tidak bisa lebih menarik lagi dari ini? Apakah ketenangan di Newbury hanyalah pertanda kecil sebelum dijatuhkannya bom atom? Harry jadi berpikir, dosa macam apa yang telah ia perbuat sampai harus menghadapi semua ini.
Tapi ngomong-ngomong, "Kalian mempercayaiku? Begitu saja?" Harry berkedip tiga kali, menganggap seluruh situasi ini sangat konyol. "Dengan ancaman seperti Sauron, bagaimana kalian tahu jika aku bukan bagian dari antek-anteknya?"
Halbarad terkekeh dari samping, mengalihkan perhatian seluruh meja. "Sejujurnya, aku sangat ingin mempercayai itu. Tapi jika dipikir-pikir lagi, tidak mungkin ada anak buah Sauron yang menangis karena membersihkan kandang kuda."
Itu lagi! Tidak bisa kah pria ini meninggalkan pengalaman buruknya dengan kandang kuda seorang diri? Wajah Harry tanpa sadar merona, dia bersumpah akan memasuki banyak garam di sarapan Halbarad besok. Mungkin juga Aragorn, karena pria itu diam-diam ikut menertawainya. "Aku tidak menangis!" gerutunya jengkel. "Aku membencimu."
"Aku tahu kau menyayangiku."
"Diamlah, Halbarad!"
< OMAKE >
Aragorn: (menyisir rambut Harry seperti seorang ayah dengan anak perempuannya) Apakah kau ingin dikepang?
Harry: (menoleh ke belakang) Aku tidak tahu kau bisa mengepang rambut.
Halbarad: Dia mempelajari itu dari Elf di Rivendell (ikut memegang rambut Harry dan mengaguminya). Kita harus beli aksesoris rambut, mungkin beberapa pita dan jepit.
Aragorn: (mengangguk, masih menyisir dengan penuh kasih sayang)
Harry: (mengerang pelan) Kalian tahu jika aku bukan boneka yang bisa didandani sesuka hati kalian, kan?
Halbarad: Tidak, kau anak perempuan kami.
Aragorn: (mengangguk lagi)
Harry: (mengerang lebih keras) Seharusnya aku memotongnya...
Halbarad & Aragorn: Jangan berani-beraninya!!
Chapter 4: The Orcs
Chapter Text
Semenjak mengetahui identitas asli Harry, Aragorn tidak bisa untuk tidak memperhatikannya dalam diam. Mereka telah merencanakan untuk pergi mengunjungi Rivendell dalam satu minggu lagi, sehingga Harry punya cukup waktu untuk berpisah dengan warga setempat. Kemungkinan besar mereka tidak akan kembali ke Newbury dalam jangka waktu yang sangat panjang, bahkan mungkin ini menjadi yang terakhir kalinya Harry berada di sana. Dia perlu menyampaikan salam perpisahan mengingat dirinya sudah sangat dicintai di desa kecil ini.
Mereka bisa melihat bagaimana Tuan Hama tampak terpukul mendengar kabar tersebut, namun mencoba untuk tegar dan meyakinkan Harry bahwa dia selalu di terima di sini. Aerion dan Lorelea bahkan tidak repot-repot menutupi kesedihannya, mereka menangis sambil memeluk Harry seolah anak itu adalah anak mereka sendiri. Seorang wanita tua di pasar memberikan Harry sebuah tas ransel sebagai hadiah. Yang paling mengejutkan Aragorn adalah... beberapa warga kompak melakukan patungan untuk membelikan Harry seekor kuda, pemilik kuda itu sendiri telah menjualnya dengan diskon besar khusus untuk Harry.
Di saat itulah Halbarad dan Aragorn baru menyadari dampak kehadiran Harry terhadap orang-orang di sekitarnya. Memang, mereka sendiri mengakui Harry adalah sosok yang sangat mudah untuk dicintai. Kebaikan hatinya sulit ditemukan pada diri orang lain, dia selalu senang membantu, dan memiliki banyak ide brilian yang telah mempermudah kehidupan para warga setempat. Beberapa orang tua di sana terang-terangan ingin menjodohkan putri mereka pada Harry, yang tentu saja ditolak dengan sangat lembut. Hal itu seringkali membuat Halbarad menggoda Harry tanpa henti.
Namun yang terus menjadi bahan pikirannya adalah... fakta bahwa anak itu mengaku dia telah kehilangan dunianya. Yaaa... tidak secara harfiah, tetapi tetap saja itu berarti Harry meninggalkan seluruh kehidupan yang pernah ia jalani sebelum ini. Aragorn dan Halbarad tidak tahu apakah teman kecil mereka memiliki keluarga di sana, tidak ada satupun yang berani mempertanyakannya, dan mereka juga belum seterbuka itu untuk berbagi cerita hidup masing-masing. Jika dipikir-pikir lagi, mimpi buruk yang sering Harry alami selama ini, apakah semua itu merupakan realisasi dari kehidupan si penyihir sebelumnya? Mereka tidak bisa untuk tidak khawatir.
Tanpa sadar, seminggu pun telah berlalu. Hari di mana mereka meninggalkan Newbury untuk Rivendell telah tiba. Pagi-pagi sekali, desa sudah ramai oleh warga yang berdiri di jalanan. Memang pagi hari tidak pernah terasa sepi, tapi kali ini mereka semua berkumpul bersama untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Harry. Anak-anak sudah mengerumuninya terlebih dahulu untuk memeluk sekaligus memberikan dia karangan bunga. Beberapa orang dewasa juga banyak yang memberikan perbekalan. Halbarad menganggap pemandangan itu sangat menarik, Aragorn tidak bisa menyalahkannya.
Mereka pun mulai meninggalkan desa. Harry dengan kuda betina coklatnya yang ia beri nama Meda. Ketika Halbarad bertanya apa arti nama itu, Harry berkata bahwa kuda itu mengingatkannya dengan Andromeda, sepupu perempuannya yang memiliki rambut coklat yang sangat cantik. Bahkan mereka memiliki sifat yang cenderung sama, tenang dan cerdas. Harry belum benar-benar ahli berkuda, namun Meda tidak pernah membuatnya merasa kesulitan.
Bersama mereka, Harry mulai berani menunjukkan beberapa sihir sederhana hanya untuk merasa terbiasa jikalau suatu saat nanti ia perlu menggunakan yang lebih besar. Lumos, Aguamenti, Incendio, dan beberapa bentuk transfigurasi merupakan hal pertama yang dia perkenalkan. Ekspresi kedua Ranger itu benar-benar sesuatu yang rela ia bayar untuk melihatnya sekali lagi, sangat lucu, jika saja dia punya kata yang lebih tepat untuk mendeskripsikannya. Aragorn mengaku dia belum pernah melihat Gandalf menggunakan sihirnya untuk sesuatu yang sederhana namun sangat berguna.
Ngomong-ngomong tentang Gandalf, Harry sejujurnya tidak tahu harus bereaksi seperti apa mengenai penyihir tersebut. Berdasarkan cerita Aragorn, Gandalf adalah penyihir yang kuat namun bukan yang terkuat. Saruman The White yang menempati posisi tinggi tersebut, dia banyak memberikan nasihat-nasihat penting untuk suatu peristiwa besar. Namun Aragorn mengaku dia tidak begitu menyukai Saruman, Gandalf cenderung lebih santai dan enak diajak berbicara. Jika Harry boleh menyimpulkan, pria tua berjubah abu-abu dan berjanggut panjang itu (merujuk pada deskripsi dari Aragorn) cukup bijak dan lebih banyak terlibat dalam berbagai konflik, tidak peduli dari ras manapun. Sementara Saruman, entah kenapa Harry tidak begitu yakin dengannya. Mungkin keluarga Black telah menularkan sifar paranoid mereka.
Perjalanan menuju Rivendell memakan lebih banyak waktu dari yang Harry duga. Dia masih belum terlalu terbiasa dengan perjalanan darat terutama tanpa transportasi modern seperti mobil dan kereta. Cukup menyiksa, jika batin manusia modernnya boleh berkata. Memang, ia sudah tidak memiliki masalah apapun dengan berkuda. Tapi tidur di alam bebas merupakan dua hal yang berbeda, dia hanya sempat mengalami itu sebentar ketika ia pertama kali tiba di Middle Earth. Setelah lima tahun menetap di desa, tentu saja tidur tanpa ranjang masih menjadi mimpi buruk.
Dia bisa saja memilih untuk tidur di dalam koper. Tapi mengingat pengetahuannya akan alam bebas di dunia ini belum seberapa, akan lebih bijak bila Harry mempelajarinya secara langsung. Lagi pula, tidur dalam koper di saat kuda-kuda mereka terikat di luar bukanlah ide yang bagus. Seseorang bisa menculiknya atau bahkan membunuh hewan tersebut, dia tidak mau mengambil resiko. Mungkin... Harry bisa merencanakan pembuatan tenda sihir setelah mereka tiba dengan aman di Rivendell.
Suatu hari, Harry mendapati Halbarad tengah menumpuk tubuhnya dengan banyak kain. Lalu ia mengeluarkan sebuah tali seperti ikat pinggang. Melihat itu, salah satu alisnya lantas terangkat.
"Apa yang kau lakukan?"
Dengan seringai bodohnya, pria itu membalas, "Memastikan kau tidak berguling kemana-mana selama tidur. Aku tidak ingin mengambil resiko untuk bangun pagi dan melihatmu sudah berada di wilayah berbeda."
Harry menjadi salah tingkah, dan Aragorn tertawa sampai membuat Harry takut sendiri mendengarnya. Sungguh, pria itu ternyata bisa tertawa lebih kencang dari cicitan kelinci? Mengagumkan. Jika saja dia punya kamera, sudah pasti ia akan mengabadikan momen tersebut. Tapi menjitak dahi Habarad dengan dahinya sendiri merupakan prioritas yang harus dilakukan detik ini juga. Harry tersenyum puas melihat Ranger itu melotot, tangannya berada di depan dahi seolah tidak menyangka dengan apa yang baru saja terjadi.
"Aku berubah pikiran. Aku akan mengikatmu dengan kain lalu menggantungmu di atas pohon seperti kepompong."
"Lepaskan aku!"
"Tidak, terimalah ganjaran dari berperilaku tidak sopan dengan orang yang lebih tua."
Harry sangat ingin berteriak bahwa dialah yang paling muda di sini. Namun itu akan membongkar rahasianya lebih jauh lagi. Tidak, belum saatnya. Lebih baik mereka mengetahui semua itu ketika tiba di Rivendell, Harry tidak mau repot-repot menjelaskannya berulang kali. Jadi dengan raut cemberut, ia berusaha semaksimal mungkin untuk melepaskan diri dari perangkap si Ranger. Sial, ternyata dia benar-benar diikat dengan sangat kuat. Memberontak hanya akan membuatnya tampak seperti ulat sagu yang menggeliat.
"Aku bersumpah akan mengubah rambutmu menjadi merah muda jika kau tidak segera melepaskanku!"
Halbarad sepertinya terlalu meremehkan kekuatan sihir Harry. Meski tidak jadi digantung di atas pohon, tapi dia benar-benar dibiarkan tidur dalam belasan kain yang terikat, menggulungnya dengan baik seperti bolu gulung. Aragorn sama sekali tidak membantu, dia pura-pura lupa akan keberadaan Harry dan memilih untuk berjaga di dahan pohon. Dasar dua pria tua menyebalkan, pantas saja mereka masih melajang di usia segitu (seolah dia sendiri tidak sedang melajang).
Ia terbangun oleh suara tawa yang familiar. Baru sempat membuka mata, seseorang sudah lebih dulu menendang gulungan kainnya yang membuat Harry berguling seperti tong sampah sampai menabrak pohon. Untung saja dia terlapis kain tebal, jadi punggungnya sama sekali tidak merasakan sakit. Ketika ia mendongak untuk protes, Harry langsung terdiam.
Di sana, tepat di depannya berdiri sosok Halbarad yang menjulang tinggi dengan raut wajah kelewat kusut. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Dan meskipun Harry mengakui auranya sangat mengerikan, ia tidak bisa menahan tawa menggelegar saat melihat helaian merah muda panjang berhasil menghiasi kepala sang Ranger. Aragorn sendiri tidak bisa berhenti terkikik dari belakang, jelas menikmati kejenakaan yang dibuat kedua temannya.
"Harry," panggil Halbarad dengan suara dalam. "Kembalikan. Rambutku. Seperti. Semula. Sekarang!"
"Tidak."
"Dasar bocah nakal!"
"Terimalah ganjaran dari berperilaku tidak sopan dengan orang yang lebih muda," Harry mengulangi kata-kata Halbarad dengan sangat bangga. Seringainya memenuhi wajah, lidah terjulur tanpa bisa ia tahan.
Halbarad tercengang, Aragorn sekali lagi jatuh memegangi perutnya.
Hari itu pun berakhir dengan mereka melanjuti sisa perjalanan menuju Rivendell, dengan Halbarad yang pasrah bahwa rambutnya akan tetap berwarna merah muda sampai tiga hari ke depan, dan kedua pipi Harry yang memerah karena dicubit terus-terusan oleh pria itu. Intinya, Aragorn sangat bahagia dalam perjalanan kali ini, dia tersenyum lebar seperti orang idiot di atas kudanya yang berpacu. Ingatkan Harry untuk menaburi glitter di seluruh pakaiannya besok.
"Semangatlah Harry, besok kita akan tiba di Rivendell. Kita hanya perlu mencari tempat bermalam sekali lagi."
Meskipun Aragorn telah berkali-kali menyemangatinya, Harry tetap tidak bisa menahan rasa muak terhadap punggung kuda. Dibandingkan bokong, sebenarnya yang paling tersiksa adalah punggung pemuda itu. Dia benar-benar butuh sandaran sekarang, seketika ingatan tentang kursi empuk pesawat menjadi hantaman kuat. Dia tahu dia tidak boleh mengeluh, apalagi membandingkan zamannya dengan zaman ini. Tapi Merlin, kau tidak bisa berharap anak yang tumbuh dengan sendok emas tiba-tiba mampu menangani seluruh ternak. Itu mustahil, bahkan bagi orang dewasa sepertinya.
Yang lebih menyebalkan adalah, dia juga tidak bisa membagi kenangannya dengan siapapun. Selain terdengar tidak sopan, Harry juga yakin tak seorang pun memiliki bayangan tentang bagaimana bentuk pesawat. Apakah mereka telah mengenal sepeda saja ia ragu. Mengabaikan tepukan pelan di punggungnya, Harry berusaha fokus pada jalan di depan. Namun kemudian, sesuatu yang aneh tertangkap dalam indera penciumannya.
"Bau busuk apa ini?"
Saat itu juga Aragorn dan Halbarad menghentikan laju kuda mereka. Salah satu Ranger yang lebih tua bertanya, "Apa maksudmu, Harry?"
"Tidak kah kau menciumnya? Ada bau busuk seperti seluruh bangkai hewan yang terbakar, mungkin dari arah Barat."
Mereka bertiga terdiam. Aragorn dengan pengalamnnya selama puluhan tahun, menajamkan pandangan ke arah kiri. Seolah menyadari tanda bahaya yang dimaksud, dia berteriak, "Keluarkan senjata!!"
Bertepatan dengan itu pula, sekelompok makhluk aneh keluar dari balik pepohonan. Mereka semua sangat banyak, menunggangi semacam anjing hutan liar yang tampak rabies. Harry merinding, ini kah yang selama ini temannya sebut sebagai Orc dan Warg? Ia mengingat ciri-ciri yang Aragorn beri, dan demi Tuhan, jelek saja tidak cukup untuk menggambarkan wujud makhluk sialan ini!
Aragorn dan Halbarad menggunakan pedangnya bagai samurai yang terlatih dari zaman Edo, jika saja mereka tidak kalah jumlah Harry yakin makhluk jelek itu tidak akan bertahan lama di hadapan para Ranger. Dia sendiri sempat memproses keadaan untuk sesaat, lalu dengan pengalamannya yang selalu menjadi incaran sekelompok penyihir gelap, Harry mulai mengeluarkan tongkat sihirnya dan mengucapkan berbagai jenis mantera. Sebagian besar merupakan mantera perlindungan, bagaimana pun juga ia seorang Rosier, mereka diciptakan untuk ini.
Seekor Warg melompat dan hendak menyerang Halbarad dari atas, tapi Harry segera melambaikan tongkatnya dan makhluk itu pun terpental sangat jauh sampai tertusuk oleh pedang Orc di belakang. Halbarad menyempatkan diri untuk menatap Harry dengan kagum, mengangguk singkat sebagai ucapan terima kasih sebelum kembali pada musuh-musuh mereka.
Jika saja tidak ada kedua Ranger, Harry pasti sudah menggunakan Fiendfyre. Tapi mengingat wujud Orc yang tampak seperti kegagalan sampah daur ulang, Harry ragu mereka rentan terhadap api. Tiga Orc muncul dari arah berbeda, Harry langsung melompat turun dari kuda dan menancapkan tongkat sihirnya ke tanah, sekali lagi mereka terlempar ke belakang. Cukup memberikan Harry waktu untuk mengucapkan Petrificus Totalus dan ketiganya pun langsung kaku seolah menjadi batu, Harry pun mengeluarkan pedangnya dan memenggal kepala mereka.
Terlalu banyak. Mereka hanya bertiga dan gerombolan Orc ini hampir tiga puluh, berlipat ganda jika kau menghitung para Warg. Sangat jomplang, Harry sulit membagi fokusnya untuk menyerang dan menjaga para Ranger dari serangan. Memang lebih muda jika ia fokus pada pertahanan, sihir penjaga keluarga Rosier sangat kuat hingga keturunannya tidak perlu menggunakan tongkat untuk melakukan itu. Masalahnya, makhluk-makhluk sialan ini tidak pernah memberinya ruang.
"ARGHH!"
Harry berpaling, melotot kaget pada Aragorn yang terkena serangan Orc. Pedang itu menggores lengan atasnya, ia tidak tahu apakah lukanya dalam atau tidak, tapi jelas terdengar menyakitkan. Di satu sisi Halbarad ditekan dari belakang oleh seekor Warg, Harry kembali melemparkan Stupefy. Ketika dia hendak melemparkan mantera lainnya, Harry didorong sangat kuat oleh Aragorn guna menangkis serangan Orc yang muncul di belakangnya. Secara tidak sengaja tongkat sihir Harry terlempar, ia hendak mengambilnya ketika tongkat itu diinjak dengan sangat menyebalkan oleh kaki besar menjijikkan.
Kepala mendongak, mengernyit jijik melihat satu Orc yang menyeringai padanya. Berani sekali si brengsek ini menginjak tongkat sihirnya yang berharga! Jika makhluk itu punya penis, Harry jamin akan meledakkan kelaminnya di saat itu juga. Atau mungkin dia bisa menancapkan besi panas dari ujung kepala lalu menembus hingga anus. Brengsek, bahkan di dunianya tak seorang pun pernah menginjak tongkat Harry. Makhluk hina ini benar-benar harus diberi pelajaran.
Tepat ketika Orc itu mengangkat pedangnya tinggi, dan Harry sudah siap untuk mengulurkan telapaknya agar perisai tanpa tongkat keluar dari sana, sebuah anak panah muncul entah dari mana dan menancap hingga menembus keluar dari wajah jelek Orc. Harry langsung berguling ke samping agar tidak tertimpa si makhluk kotor, segera mengambil kembali tongkatnya dan berdiri untuk melihat siapa penolongnya. Aragorn dan Halbarad tidak membawa busur, jadi siapa—
"BANTUAN DATANG!" Halbarad berteriak, berhasil mengalihkan perhatian beberapa Orc dan membuat mereka terkena panahan dari sekelompok orang berkuda. Beberapa menggunakan pedangnya untuk memenggal Warg yang menerjang.
Harry memiliki beberapa detik untuk menatap. Satu hal yang ia sadari adalah, mereka semua berambut panjang dan berwajah rupawan. Semuanya menunggangi kuda berwarna putih yang besar dan tampak anggun, selaras dengan penampilan para penunggangnya sendiri. Tidak lupa baju armor yang mereka gunakan. Apakah...
Elf? Ini kah Elves?
Sayang sekali dia tidak punya banyak waktu untuk mengobservasi. Harry segera beranjak dan menjauh, berguling serta menunduk ketika sebuah pedang hendak mengenainya. Satu Orc yang terkena serangan Elf jatuh tepat di hadapan Harry, sekali lagi hampir mengenainya jika saja dia tidak memiliki reflek cepat. Makhluk itu terlentang tak bernyawa, dengan hawa busuk yang membuat Harry akan muntah jika saja situasinya mendukung.
"Eughh! Sungguh, apakah mereka tidak mengenal teknologi yang bernama sikat gigi?!"
Harry mendengar tawa dari sebagian Elf di sekitarnya. Halbarad bahkan hampir kehilangan fokus oleh rasa geli. Ah, ia benar-benar lupa jika Elf memiliki pendengaran yang tajam. Sekarang wajahnya merah merona, merasa konyol sendiri oleh komentar barusan. Tapi dia tidak bisa menahan itu, gigi para Orc tampak seperti sarang belatung yang dikembangbiakkan seumur hidup. Siapa yang tidak merinding setelah melihatnya?
Seorang Elf yang berkuda tak jauh dari Harry, tersenyum geli saat menghunus pedangnya ke seekor Warg. "Estel, aku tidak tahu kau punya teman yang menghibur!"
Dia tidak tahu siapa Estel, namun anehnya Aragorn tertawa dari sudut lain. Hal itu menarik perhatian Harry. Ia melirik, pria itu masih bertarung meskipun Harry bisa dengan jelas melihat kesakitannya. Sesekali sang Ranger akan memegangi bagian lengan yang terluka. Pemandangan itu membuat emosinya melonjak. Tubuhnya bergetar oleh amarah yang tak tertahan. Dia belum pernah semarah ini sejak tiba di Arda, tapi rasanya seperti Harry ingin meledakkan sesuatu sekarang.
Dengan mengepalkan kedua tangannya, ia berbalik kemudian berteriak, "ARAGORN HALBARAD, MUNDUR!!"
Mereka yang dipanggil jelas merasakan kebingungan luar biasa, saling berpandangan sebentar namun akhirnya menurut. Secara perlahan memundurkan langkah dan mendekat ke arah Harry. Rombongan Elf untungnya tidak ada yang berada di tengah pertempuran, jadi aman untuk melampiaskan amarahnya yang terkumpul. Halbarad hendak bertanya ketika Harry tiba-tiba saja menghantamkan salah satu kepalan tangannya ke tanah.
Belasan kuda menjerit mundur, begitupun penunggang mereka yang tersentak dan hampir terlempar oleh gelombang kuat dari permukaan tanah. Baik para Ranger maupun rombongan Elf sama-sama menutup sedikit pandangan mereka dengan sebelah tangan ketika gelombang yang seperti terpaan angin itu berhasil melempar semua Orc dan Warg ke atas. Menyebutnya terpaan angin akan menjadi pernyataan yang meremehkan. Kekuatan barusan telah menjauhkan Orc dari senjata mereka, semuanya terlempar tak nentu arah. Ketika mereka akhirnya menghantam tanah, ada jeda sesaat sebelum akhirnya para Elf dan Ranger menggunakan kesempatan itu untuk menghantamkan berbagai serangan terakhir.
Begitulah pertarungan mereka berakhir. Halbarad bersumpah jika ia sempat melihat mata hijau Harry bersinar bagai lentera di malam hari. Normalnya semua mata akan tampak gelap tanpa matahari yang menyinari, namun untuk beberapa detik tadi, mereka benar-benar melihat cahaya terang dari permata hijau tersebut. Seperti ada kilatan yang keluar, kau tidak akan menyadarinya jika tidak berdiri berdekatan, dan bagi Halbarad serta Aragorn sendiri... ya, mereka melihatnya.
Keheningan mengisi ruang malam yang terbuka. Harry merasakan belasan pasang mata menatap sekaligus ke arahnya. Dia tidak ingin menebak pandangan apa yang mereka beri. Mungkin bingung, mungkin takut, mungkin juga waspada. Harry tidak ingin tahu, sungguh. Dia akan membawa langkahnya mundur ketika Halbarad muncul begitu saja, menabrak Harry dan menariknya ke dalam sebuah pelukan.
"Terima kasih. Kau menyelamatiku berkali-kali, sungguh, aku berhutang nyawa padamu, kawan kecilku."
Harry mendengus namun tetap membalas pelukan itu. "Tidak ada yang berhutang apapun di antara kita, Halbarad. Kau sendiri lebih banyak menolongku selama ini."
Tiga orang Elf turun dari kuda mereka, dua di antaranya dengan surai sewarna hitam gelap dan satu berwarna pirang keemasan, tampak berkilau bahkan di malam hari. Aragorn berjalan mendekati mereka, memeluk ketiganya seolah mereka adalah kerabat jauh yang dipisahkan oleh benua. Itu menarik perhatian Harry, dan ia menyadari jika kedua Elf yang berambut hitam memiliki wajah serupa. Kembar, sepertinya.
"Muindor nin, apa yang membuatmu kembali secepat ini? Bukan berarti aku tidak menantikan itu, hanya saja tidak tampak seperti biasanya," satu dari Elf kembar buka suara.
Aragorn mendesah. "Ada beberapa hal yang perlu kubahas dengan Ada."
Kemudian, Elf yang berambut emas itu bertemu pandang dengan Harry. Mereka saling memandang untuk beberapa saat, lalu akhirnya dia bertanya meski tanpa memutuskan kontak mata yang berarti. "Dan siapa kah teman penyihirmu ini? Aku tidak tahu jumlah Istari telah bertambah, apalagi dengan yang sangat muda."
Bagus, sekarang semua orang kembali memperhatikannya.
Sambil tersenyum lembut, Aragorn menjelaskan, "Dialah alasanku untuk kembali ke Imladris. Aku perlu memperkenalkannya kepada Ada. Jangan khawatir, aku bisa jamin dia tidak memiliki niat buruk apapun." Lalu pria itu meliriknya, mengulurkan tangan seolah memanggilnya untuk mendekat, yang ia turuti dengan tenang. "Harry, aku ingin kau mengenal kedua saudaraku, Elladan dan Elrohir, serta Lord Glorfindel."
Harry menundukkan kepalanya sedikit, dengan sebelah lengan diletakkan ke dada dan sebelahnya lagi diletakkan di balik tubuh. "Mohon maaf jika aku sedikit lancang. Aku sangat menghargai pengenalan ini, sungguh. Namun jika aku bisa memberikan sedikit usul, sebaiknya kita mencari tempat yang lebih nyaman dulu untuk melanjutkannya. Aku khawatir hidungku tidak bisa bertahan lebih lama lagi dengan bau Orc yang seperti tumpukan bangkai dalam kotoran ternak." Harry menatap Aragon dengan muram. "Seharusnya saat itu kau lebih menjelaskan tentang bau mereka alih-alih rupa jeleknya."
"Maaf Harry, aku tidak tahu kau memiliki penciuman yang tajam."
Salah satu si kembar Elf, yang Harry yakini sebagai Elrohir, tertawa lembut. "Baiklah, aku rasa kau benar. Kalau begitu mari kita pergi ke perkemahan kami."
Entah hanya perasaannya saja atau apa, tetapi Elf berambut pirang itu terus-terusan menatap Harry di tiap kesempatan. Aneh.
< OMAKE >
Harry: (menggeliat seperti ulat di dalam gulungan kain) Lepaskan aku, dasar orang tua! Lepaskan! Lepaskan! Lepaskan! Lepaskan! Lepaskan! Lepaskan!
< 30 menit kemudian >
Harry: Lepaskan! Lepaskan! Lepaskan!
Halbarad: Zzzzz... (sudah tertidur, menyumbat telinganya dengan daun)
Aragorn: (mendekatinya karena sudah lelah mendengar rengekan itu) Harry tidurlah, besok kau akan kelelahan jika tidak istirahat. Bukankah ini membuatmu tetap hangat? (Menepuk-nepuk gulungan kainnya agar anak itu mau tidur)
Harry: (mengerang, tapi patuh, mulai menikmati momongan Aragorn) Zzzzz...
...
Halbarad: Aku tidak akan membelikanmu jepitan rambut lagi karena sudah berbuat nakal! (menunjuk pada rambut merah mudanya sambil mencubit pipi Harry)
Harry: A-awku swangat bwertwerima kaswih untwuk ituu... (read: aku sangat berterima kasih untuk itu)
Halbarad: ... (berpikir)
Halbarad: Aku akan membelikanmu segudang jepit rambut karena sudah berbuat nakal!
Harry: (melotot, shock!) TIDAK!!
Aragorn: (tersenyum senang, membayangkan rambut anak asuhnya akan dipenuhi banyak jepit rambut)
...
Harry: ARAGORN HALBARAD, MUNDUR!! (mengeluarkan ultimatum)
Rangers & Elvesh: (kompak terkejut)
Elvesh: Siapa gadis kecil itu?!
< Beberapa menit kemudian, setelah Aragorn membawa Harry ke hadapan keluarganya >
Elvesh: Bukan gadis kecil, tapi pemuda kecil!
Elladan: (berpikir: Aragorn punya anak?)
Elrohir: (berpikir: adik kecilku yang baru!!)
Glorfindel: (diam memperhatikan)
Notes:
Elvish Phrases:
Adar/Ada = Ayah
Arda = Middle Earth
Muindor nin = Saudaraku
Imladris = Rivendell
Chapter 5: Welcome to Rivendell
Summary:
Akhirnya, mereka tiba di wilayah para peri, Rivendell.
Notes:
(See the end of the chapter for notes.)
Chapter Text
Perkemahan kelompok Elf tidak jauh dari tempat penyerangan, namun cukup jauh untuk tidak lagi mencium aroma busuk para Orc. Hal ini menjelaskan kenapa mereka bisa tiba tepat waktu di saat yang paling dibutuhkan. Berdasarkan informasi dari Elladan, belakangan ini para Warg lebih sering mendekati perbatasan Rivendell dari biasanya. Untuk itulah pasukan penjaga perbatasan diperbesar. Pertarungan itu bukanlah yang terberat, namun berkatnya kini Harry telah kehilangan Meda. Kuda malang itu ternyata menerima serangan saat mereka semua sedang sibuk. Akhirnya, ia berkuda bersama Aragorn.
Ah, ngomong-ngomong Harry jadi teringat sesuatu. Tepat ketika Aragorn baru mendudukkan bokongnya di tanah, ia langsung mendekat dan mengambil lengan kanannya yang terluka tanpa sepatah kata pun. Pria itu mengernyit, menatap Harry seolah meminta penjelasan, namun tidak menolak sentuhan tersebut.
"Aku tahu kau terluka tadi. Aku bisa menyembuhkannya, jadi tolong biarkan aku mengobati lukamu."
Aragorn tidak menjawab, hanya mengangguk patuh dan seperti kata Harry, ia membiarkan pemuda itu melakukan apapun yang dia mau. Halbarad memperhatikannya ketika Harry mulai menutupi luka tersebut dengan salah satu telapak tangan, lalu tangan lainnya memegang tongkat sihir. Ia mulai merapalkan sesuatu yang tidak mereka pahami, tongkat sihirnya bergerak di udara seperti sedang menggambar sebuah pola, lalu keluarlah garis-garis perpaduan cahaya putih dan hijau yang melingkar mengelilingi lengan Aragorn. Garis itu masuk ke dalam dagingnya seperti benang, dan jika matanya tidak salah lihat, koyakan pada lengan atas Aragorn mulai tertutup secara perlahan.
Semua kejadian itu tidak luput dari pandangan para Elf, terutama bagi mereka yang duduk tidak jauh dengan ketiga pendatang. Si kembar menatap takjub, Halbarad mungkin akan tertawa jika situasinya lebih mendukung. Kau tidak selalu bisa melihat seorang Elf melongo sampai mulut terbuka, itu pemandangan langka. Bukan berarti dia bisa menyalahkan mereka, bahkan Halbarad sendiri belum banyak melihat aksi sihir Harry, jadi bisa dibilang, dia dan Aragorn pun sama terkejutnya dengan semua Elf.
Cahaya sihir itu telah padam. Harry tersenyum gembira melihat hasilnya yang memuaskan, kini luka Aragorn bahkan tidak meninggalkan sedikitpun bekas. "Lukanya sudah tertutup bukan berarti kau bisa banyak bergerak. Sihir penyembuhan butuh waktu untuk benar-benar lepas dari kondisi rentan. Biasanya diiringi dengan meminum ramuan, tapi aku tidak memiliki semua itu di sini. Jadi berhati-hatilah agar jahitannya tidak lepas."
Aragorn menatap lengannya dan Harry bergantian. Wah, dia belum pernah disembuhkan secepat ini. "Terima kasih, Harry. Apa dulu kau seorang penyembuh?"
"Benar, tapi sihir penyembuhan masih membutuhkan bantuan lain. Aku tidak akan bisa melakukannya pada luka yang lebih dalam atau serius dengan tangan kosong. Kebetulan saja lukamu masih dalam jangkauan kemampuanku."
"Itu luar biasa!" satu dari si kembar berujar, Harry tidak yakin yang mana, dia belum bisa membedakan mereka berdua. "Aku belum pernah melihat Gandalf melakukan yang seperti itu."
"Kau benar," ujar si kembar lain. "Jadi, apa warna penyihirmu, Istari muda?"
Harry mengernyit tidak paham. "Warna?"
"Kau tahu, seperti Gandalf The Grey dan Saruman The White. Apa warnamu?"
Ah, ini bukan sesuatu yang bisa dia jawab. Harry langsung menoleh pada Aragorn, memberikannya tatapan minta tolong yang langsung ditangkap dengan baik. Entah sejak kapan semua ini bermula, tapi Harry menolak sadar bahwa ia mulai bergantung pada kedua Ranger. Senang rasanya memiliki seseorang yang bisa kau andalkan lagi, dan bukannya menjadi pihak yang selalu diandalkan.
"Harry tidak berasal dari dunia kita, dia datang dari dunia yang berbeda karena sebuah kecelakaan. Dia sendiri tidak merencanakan ataupun mengetahuinya sampai kami berdua menemukan Harry lima tahun lalu. Itulah kenapa aku ingin membawanya kepada Ada," Aragorn menjelaskan.
Hal itu tentu saja mengagetkan semua yang berada di sana. Para Elf seketika menghentikan kegiatan mereka dan menatap pemuda itu secara serempak. Hebat, sekarang Harry merasa seperti alien yang jatuh ke bumi. Si kembar dan Elf berambut emas itu bahkan tidak repot-repot menutupi pengamatan mereka akan sosok Harry, seperti sedang meneliti artefak kuno yang tidak sengaja ditemukan dari bawah tanah.
Glorfindel menatapnya lekat sebelum beralih pada Aragorn. "Lima tahun lalu? Lantas mengapa kau baru membawanya sekarang, Estel?"
"Karena ketika kami menemukannya, Harry berbicara dalam bahasa yang sangat berbeda. Kita mengalami kendala komunikasi saat itu, Glorfindel. Aku berpikir akan sia-sia jika membawanya langsung ke Rivendell, jadi aku mengubah rencananya dan membawa Harry ke sebuah desa terdekat. Dari sana dia baru mulai mempelajari Westron dan pengetahuan dasar tentang dunia kita."
Sebelum Glorfindel bisa mengatakan sesuatu lagi, Halbarad lebih dulu mendahuluinya. "Dan bahkan saat itu kami tidak mengetahui apapun tentang sihir Harry. Kami berpikir dia hanya manusia biasa, lalu membantunya untuk beradaptasi di desa selama satu bulan sebelum aku dan Aragorn kembali melakukan tugas kami seperti biasa. Baru setelah kami kembali 5 tahun kemudian, ketika bahasa tidak lagi menjadi penghalang komunikasi, Harry bisa mengatakan yang sebenarnya."
Halbarad memberinya tatapan penuh pengertian sekaligus menepuk pelan punggung pemuda itu, seolah mengatakan bahwa dia sama sekali tidak menyalahkannya. Bahasa memang kendala utama yang membatasi akses komunikasi mereka, dan para Ranger tidak bisa berlama-lama di Newbury hanya untuk menunggu Harry lancar dengan Westron-nya. Mereka memiliki tanggung jawab, meskipun kembali setelah 5 tahun bukanlah bagian dari rencana awal.
Harry pun menunduk, memeluk kedua kakinya yang tertekuk di depan dada. "Maaf, aku tidak bermaksud menutupinya. Hanya saja di dunia lamaku, tidak semua manusia memiliki respon yang bagus terhadap keberadaan penyihir. Sudah menjadi insting alam bawah sadar kami untuk merahasiakannya kepada mereka yang bukan penyihir, itu merupakan bentuk pertahanan diri yang ditanam selama ribuan tahun. Kami bahkan memisahkan diri dari manusia biasa karena hal yang sama, sehingga manusia biasa tidak pernah mengetahui keberadaan komunitas sihir."
Elladan termenung, ia bisa dengan jelas merasakan sedikit rasa sakit dalam nada suara pemuda itu. "Apa yang terjadi jika mereka mengetahui keberadaan sihir?"
Harry tersenyum kecut. "Sekitar seratus atau dua ratus tahun sebelum aku lahir... jika sekelompok manusia mengetahui keberadaan beberapa penyihir, para penyihir itu akan dibunuh secara mengerikan. Yang paling umum adalah digantung di atas tiang dan kemudian dibakar hidup-hidup sambil ditonton oleh semua orang. Itu sudah terjadi selama lebih dari 500 tahun ke belakang."
Sontak suara napas yang tertahan memenuhi indera pendengaran Harry. Mereka semua menatap dengan ngeri, Aragorn dan Halbarad bahkan tidak menyangka jika dunia tempat Harry berasal memiliki kisah yang sangat mengerikan. Menggantung dan membakar seseorang hidup-hidup, sungguh? Belum lagi hal seperti itu justru dijadikan tontonan, iblis keji macam apa yang menempati dunia tersebut? Fakta bahwa semua itu dilakukan oleh manusia, dan bukannya monster seperti Orc yang mereka miliki, menambah kengerian sekaligus ironi dalam cerita Harry.
"Tapi... kenapa?" Elrohir bertanya lirih. "Kalian tidak berbuat salah, bukan?"
"Tidak, malah kami banyak membantu perkembangan penemuan manusia di tiap zaman. Hanya saja... kau tahu, setiap makhluk hidup cenderung mudah merasa terancam terhadap apa yang tidak mereka pahami. Fakta bahwa kami bisa menciptakan api dan banyak hal lainnya membuat mereka berpikir suatu hari nanti kami akan membantai semua keberadaan manusia tanpa alasan. Beberapa dari mereka bahkan membuat karangan jika kami mendapati sihir tersebut dengan bantuan iblis, melakukan ritual pengorbanan yang membunuh sesama manusia. Sangat konyol."
"Bahkan di zamanku, ketika manusia telah lama meninggalkan semua omong kosong tentang sihir, masih terdapat beberapa kasus penyiksaan terhadap penyihir muda. Tidak semua penyihir lahir dari orang tua penyihir, ada yang lahir dari manusia biasa yang kemudian kami sebut sebagai Muggle-born. Muggle sendiri adalah sebutan untuk mereka yang bukan penyihir atau makhluk sihir. Itu akan menjadi cerita yang panjang kenapa hal tersebut bisa terjadi." Harry menghela napas. "Intinya, masih ada beberapa orang tua Muggle, yang ketika menemukan tanda-tanda sihir dari anaknya, justru menganggap anak tersebut aneh dan mulai menyiksa anak mereka sendiri agar berhenti menggunakan sihir. Bisa kah kau bayangkan itu?"
Tidak satupun dari mereka merespon, namun Harry bisa melihat dari raut wajah masing-masing bahwa tak satupun dari mereka yang menyetujui hal tersebut. Tentu saja, karena sepengetahuan Harry, di zaman ini semua ras menganggap seorang anak adalah anugerah terindah yang layak dijaga sepenuh hati. Terutama bagi para Elf yang memiliki perasaan teramat dalam dan mengalami kesulitan tentang memiliki anak. Mengetahui ada orang tua yang tega menyakiti anaknya sendiri, itu bahkan terdengar jauh lebih hina dari kelakuan Orc. Harry bisa merasakan emosi tertahan dari setiap pria di sekitarnya, terutama Elf yang diam-diam menggeram.
Sebuah tangan meremat pundaknya dengan gerakan lembut. Aragorn tersenyum, meskipun senyum itu terasa pahit dan menyakitkan. "Maaf telah membuatmu mengakui sesuatu yang sulit untuk dilakukan."
"Tidak apa, Aragorn. Itu adalah tindakan yang wajar, aku bisa mengerti. Lagi pula dunia kita berbeda, bukan? Sepengetahuanku, penyihir di sini tidak dianggap berbahaya?"
"Tidak, kami menghormati Istari seperti mereka menghormati yang lain. Tapi jika seseorang muncul dengan kekuatan sihir yang luar biasa, itu akan menjadi cerita yang berbeda. Tidak menutup kemungkinan jika ada banyak orang yang merasa terancam dengan keberadaanmu atau menganggapmu sebagai bawahan Sauron," Glorfindel menjelaskan. Di saat itulah Harry sadar bahwa si Elf pirang tidak lagi menatapnya tajam, meskipun masih ada ketegasan di setiap pandangan dan nada suaranya. Yaa... itu bisa dimengerti.
Namun Harry melotot lucu. "Aku akan merasa sangat tersinggung jika ada yang menganggapku berkomplotan dengan makhluk-makhluk menjijikkan tadi. Jika Orc saja memiliki gigi seperti napas neraka, aku tidak ingin membayangkan seperti apa Sauron. Yang mungkin terjadi adalah aku keburu mati oleh bau busuk mereka sebelum bisa menjalin kerja sama."
Sekali lagi, komentar spontan Harry berhasil memecah suasana yang tegang malam itu. Mereka semua tertawa, atau lebih tepatnya menertawakan reaksi Harry yang baru pertama kali bertemu Orc. Ekspresinya sangat lucu, seperti seseorang yang baru saja menginjak kotoran kuda di sepatu bot barunya.
Akhirnya, malam itu pun berakhir dengan para Elf dan Ranger yang saling bertukar cerita tentang kehidupan di Middle Earth kepada Harry. Pemuda itu tidur dengan diapit oleh kedua Ranger dengan alasan mereka tidak ingin Harry berguling sampai menabrak belasan Elf. Tanpa sadar obrolan pelan tersebut didengar oleh si kembar dan mereka pun menertawai Harry saat pagi tiba.
"Selamat datang di Rivendell, saudaraku."
Harry melongo. Secara harfiah, dia benar-benar terpana oleh pemandangan di depannya. Setelah 5 tahun menghabiskan waktu dengan desa kecil ala peradaban kuno, tak sekalipun ia membayangkan wilayah para Elf akan tampak seperti surga dalam bumi. Suara air terjun yang berpadu dengan nyanyian Elf serta alat musik harpa benar-benar kombinasi yang membuatmu seperti berada di dunia mimpi. Keindahan alamnya tiada dua, Harry heran bagaimana semua ini sangat jomplang dengan kehidupan di luar sana.
Setelah melewati jembatan, mereka berhenti di aula masuk dan semuanya menuruni kuda masing-masing. Tidak banyak Elf yang mengikuti kehadiran para pendatang, hanya Lord Glorfindel dan si kembar, selebihnya kembali bertugas mengawasi perbatasan setelah diberi arahan untuk menjaga identitas Harry. Kemudian, beberapa orang yang Harry yakini sebagai penguasa wilayah ini, turun mendekati mereka. Elladan dan Elrohir adalah yang pertama memberi salam, sebelum kembali mundur bersama rombongannya.
Namun yang tidak disangka-sangka oleh Aragorn adalah... kehadiran Lady of Lothlorien alias Lady Galadriel di antara Lord Erlond dan Gandalf The Grey. Tiga sosok besar itu seolah telah menanti kehadiran tamu mereka sejak lama. Lirikan sekilas diberi pada Elladan yang berada di sisi kanan Aragorn, Elf itu hanya tersenyum kecil sambil berbisik,
"Nenek dan pengawalnya tiba tiga hari sebelum kalian. Dia telah mengatakan sesuatu tentang menyambut seorang tamu di sini. Aku rasa dia sudah melihatnya."
Ah, itu akan menjelaskan banyak hal.
Tidak perlu seorang pengamat agar mengetahui untuk siapa mereka berada di sini. Ketiganya langsung memusatkan fokus mereka pada sosok Harry yang berdiri dengan anggun, jubah hijau pemberian Aragorn terpasang dengan baik di lekuk tubuhnya yang ramping. Rambut panjangnya juga sudah dikepang dengan bentuk sederhana, tak lupa tali pita yang Halbarad beri di ujung rambut. Beberapa Elf berhenti untuk mengamati rombongannya, mungkin lebih terfokus pada Harry dari apapun di sana. Seolah terbiasa dengan perhatian dari banyak orang, ia sama sekali tidak terusik.
"Selamat datang di Rivendell. Aku melihat kau membawa tamu yang menarik, Estel." Pemimpin Elf itu berujar, nadanya sangat berwibawa namun tidak mengancam. "Perkenalkan, aku Elrond sebagai penguasa Rivendell. Kau sudah bertemu dengan putra-putraku, Elladan dan Elrohir, juga Glorfindel. Bersamaku, ada Lady Galadriel dari Lothlorien dan Gandalf The Grey. Boleh kah aku bertanya siapa namamu, anak muda?"
Harry melangkah maju dengan kepercayaan diri yang baru pertama kali dilihat oleh Aragorn maupun Halbarad, lalu berhenti tepat tiga langkah di hadapan penyambutnya. Menatap sejenak sebelum tubuh itu membungkuk anggun, satu lengan berada di depan dada dan yang lainnya di balik punggung, salam yang sama yang ia beri sebelumnya.
"Selamat siang Lord Elrond, Lady Galadriel, dan Gandalf The Grey. Aku Hadrian Rosier dari House of Rosier, juga bisa dikenal sebagai Harrison Black. Namun silahkan panggil aku Hadrian atau Harry."
Kedua Ranger saling menatap, mereka tidak tahu nama asli Harry sampai detik ini. Nama yang cantik, meskipun tak satupun dari mereka mengetahui arti kata tersebut. Lady Galadriel tersenyum penuh arti, membawa aura kuat sekaligus keanggunan dalam tiap gerakannya. Dia melangkah turun mendekati Harry, membuat pemuda itu menyadari betapa tingginya sang Elf wanita. Dia belum pernah bertemu perempuan setinggi itu sebelumnya, hampir menyamai tinggi Aragorn.
Jari-jari lentik itu terulur untuk menyingkirkan helaian poni dari dahi Harry, membuat ia tanpa sadar sedikit merona meskipun tubuhnya tetap tegap dan tenang. Galadriel sekali lagi tersenyum, "Nama yang indah. Boleh kah aku mengetahui apa artinya?"
"Hadrian diambil dari kata Hadri yang berarti kedamaian dan orang yang dicintai, dapat pula berarti rambut gelap jika merujuk pada kata Hadria dari bahasa Latin. Rosier adalah nama keluarga kandungku, diambil dari kata Rose untuk mawar, dan dalam bahasa Prancis berarti semak mawar." Harry tersenyum dalam jedanya. "Harrison Black sendiri adalah nama yang diberikan setelah aku diangkat menjadi bagian dari The Noble and Most Ancient House of Black. Harisson diambil dari kata Haris, yang merupakan sebutan lain untuk bintang Seginus dan dalam Arabic berarti malaikat pelindung."
Penjelasan Harry sama saja dengan menggali lubang pertanyaan lain dalam benak semua orang yang mendengarkan. Bagi mereka yang telah mengetahui seluk beluk pemuda itu, semua kata asing tersebut akan terdengar masuk akal. Namun bagi yang sama sekali belum mengetahuinya, mereka seperti baru saja menghadapi jalan buntu yang tak diketahui keberadaannya. Aragorn dan Halbarad sendiri tersenyum, kini mereka yakin jika sosok Harry merupakan wujud nyata dari penggambaran namanya sendiri. Pengalaman di Newbury sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa pemuda itu memang orang yang dicintai.
Galadriel lantas tersenyum dengan semua informasi barusan. "Aku rasa nama-nama itu sangat cocok untukmu, Hadrian."
"Terima kasih, Nyonya."
Lord Elrond segera memerintahkan beberapa Elf untuk membawa kuda-kuda mereka ke kandang kuda, sementara para tamu akan di antar menuju kamar mereka masing-masing, bagaimana pun juga Harry dan yang lain butuh istirahat. Aragorn sudah memiliki ruangannya sendiri di sini, sementara Halbarad akan menggunakan ruang tamu yang sama seperti setiap kali ia berkunjung. Harry sendiri diantar secara pribadi menuju ruangannya, meninggalkan para Elf yang tersisa berdiri di depan gerbang menatap kepergian mereka.
Elladan menyadari kehadiran Erestor dan Lindir di sebelahnya, masing-masing dari mereka menatap ke arah yang sama, yaitu tempat terakhir kali rombongan Aragorn berada. Kemudian Erestor berkata, "Aku belum pernah melihat manusia yang begitu cantik. Bisa kukatakan, dia manusia tercantik selama ribuan tahun aku hidup."
Elrohir mengangguk penuh kesetujuan. "Kau benar, tidak ada kekasaran di wajahnya, seolah matahari belum pernah menyentuhnya. Dia terlihat muda, tapi perawakannya sangat dewasa." Lalu alis itu berkerut, "Apakah dia bisa digolongkan manusia atau justru Istari?"
"Entahlah, saudaraku. Tapi sihirnya memang luar biasa, aku belum pernah melihat yang seperti itu bahkan dari Mithrandir."
Lindir yang sedari tadi hanya mendengarkan, mulai buka suara. Pandangannya tak lepas dari jalan yang dilewati oleh tamu unik mereka. "Seharusnya Lord Glorfindel tidak perlu repot-repot mengantarkannya ke kamar, tapi dia menahanku."
Sontak ketiga temannya saling pandang. Mereka semua telah menyaksikan bagaimana Tuan dari House of Golden Flower dengan sangat halus menyingkirkan Lindir sebelum Elf itu dapat melaksanakan tugasnya. Tentu saja mengejutkan, peri tua itu tidak pernah repot-repot mengurusi hal remeh seperti mengantar tamu ke kamar mereka, tak pantas untuk kedudukannya yang tinggi. Bahkan seingat Erestor, Glorfindel hampir tidak pernah menunjukkan dirinya di hadapan tamu Rivendell, dia lebih sering sibuk dengan urusannya sendiri, yang tak seorang pun tahu apa itu.
Elladan kemudian mendesah. "Aku harap dia tidak menakutinya."
"Benar, aku masih ingin berteman dengan si penyihir kecil," lanjut Elrohir.
Harry cukup terkejut ketika Elf yang bertugas mengantarnya ke kamar adalah Glorfindel, yang sepengetahuannya merupakan seorang Lord dari salah satu rumah yang dihormati, juga merupakan seorang pejuang legendaris. Itu tidak biasa bahkan di dunianya, seorang pekerja biasa sudah lebih dari cukup untuk mengantar Harry ke kamar. Lantas kenapa seorang Lord perlu repot-repot melakukan hal remeh seperti ini?
Mungkin itu hanya bagian dari keramahtamahan para Elf, ia berpikir dalam hati.
Mereka berhenti di depan pintu kayu putih di koridor yang sama dengan kamar Aragorn. Harry menduga ini bukanlah koridor untuk kamar tamu, sebab Halbarad tidak berada di sana. Dia memang berencana menghabiskan banyak waktu di Rivendell, lebih dari waktu untuk bertamu. Namun sebenarnya ide tersebut belum benar-benar tersampaikan, jadi mungkin para Elf pandai dalam menerka situasi? Juga, dengan ini berarti ia telah diterima untuk menetap dan tinggal lebih lama. Harry berharap itulah yang terjadi.
"Silahkan beristirahat, Istari muda. Aku akan memanggilmu jika waktu makan malam telah tiba, dan setelah makan malam kita akan mengadakan pertemuan pribadi di ruang pertemuan. Pakaianmu akan diantar secepatnya. Apa ada sesuatu yang kau butuhkan?"
"Maaf, apa kau baru saja mengatakan pakaian?"
"Benar, Elrond telah memesankan beberapa setel pakaian untuk kau gunakan selama tinggal di Imladris. Bukan berarti kau tidak bisa menggunakan pakaianmu sendiri, hanya saja itu akan memudahkanmu untuk berbaur dengan yang lain."
Harry mengangguk paham. Ia tersenyum sopan kepada Glorfindel, dengan sedikit mendongak karena orang itu sangat tinggi. "Terima kasih untuk semuanya, aku tidak membutuhkan apapun lagi sekarang."
Elf itu tersenyum, sangat kecil, tapi cukup untuk membuat pipi Harry merona mengingat betapa tampannya sang Elf. Sungguh, bahkan jika semua Elf itu rupawan, Glorfindel tetap memiliki paras dan aura yang berada di atas rata-rata kaumnya. Dengan rambut emas yang menjuntai indah melewati kedua pundak, tubuh tinggi yang Harry yakini penuh otot dibalik kain tuniknya, serta aura bangsawan sekaligus pemimpin yang terpancar kuat terutama ketika kau berhadapan langsung dengannya. Mata biru itu juga memancarkan ketajaman dan pengalaman yang luar biasa. Harry merasa akan terbawa oleh arus ombak di suatu laut jika terlalu lama menatap irisnya.
"Baiklah kalau begitu. Semoga kau menyukai Rivendell, Istari muda."
"Ah, Harry saja, tolong."
"Baiklah Harry, kau juga bisa memanggilku Glorfindel. Aku permisi."
Ia menunggu sang Elf menghilang dari ujung koridor untuk bisa memasuki kamarnya. Wah, bahkan kamar yang dia terima melampaui ekspektasi Harry. Memang masih kalah jauh dengan kamar pribadinya di dunia lama maupun hotel-hotel yang pernah ia kunjungi, tapi sungguh, kamar ini terlihat cantik dengan kesederhanaan dan arsitektur khas Elf-nya. Terutama setelah kau menghabiskan 5 tahun dengan kamar alakadar di Newbury, kamar di Rivendell jelas merupakan pilihan terbaik.
Sambil meletakkan barang-barangnya di sudut ruangan, Harry langsung pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Airnya masih sangat dingin, tapi beruntung dia memiliki sihir sehingga menaruh rune penghangat di sana tidaklah sulit. Ia menikmati waktu berendamnya dengan memikirkan segala hal yang sudah ia lalui sejauh ini. Harry mulai hanyut dalam pikiran. Rasa rindu terhadap dunia lamanya masuk begitu saja. Meskipun dia telah berkali-kali bersikap seolah tak ada apapun yang terjadi, seolah dia telah menerima segala kehilangannya, namun Harry tetaplah seorang manusia. Dia memiliki batas terhadap dirinya sendiri, dan sekarang, semua batasan itu runtuh bersama air di sekitarnya.
"Andaikan kau ada di sini, Alphie..." aku pasti akan menceritakan segala petualanganku di Arda kepadamu.
< OMAKE >
Glorfindel: (menghampiri si kembar) Bukan kah aku meminta kalian untuk membangunkan me— (terdiam, terkejut dan bingung)
Elrohir: Menurutmu apakah semua makhluk dari dunia lain tidur seperti itu? (menatap dua Ranger yang tertindih Harry)
Elladan: (masih mengintip dari pintu tenda) Aku penasaran bagaimana Aragorn dan Halbarad bisa tidur dengan gangguan seperti itu.
Glorfindel: Cara tidur yang mengerikan...
Elrohir: Kau harus melihatnya beberapa saat lalu, dia berguling seperti hewan buas.
Harry: Zzzz... (masih tertidur, berguling lagi, kini kakinya di wajah Halbarad dan kepalanya di perut Aragorn)
Rangers: Zzzz... (sama sekali tidak terusik, sudah biasa menghadapinya)
Ketiga Elf: (sweatdrop)
...
< Elrond, Galadriel, dan Gandalf memperhatikan rombongan yang baru saja tiba. Pandangan tertuju pada satu sosok terkecil di antara semuanya >
Elrond: Itu kah Istari yang ada dalam penglihatanmu?
Galadriel: (mengangguk)
Gandalf: (memperhatikan) Harus kuakui dia tidak seperti bayanganku...
Elrond: ... (diam-diam setuju)
Galadriel: ...
Gandalf: Bukan kah dia terlalu muda?
Elrond: Kau benar...
Galadriel: ...
...
< Glorfindel baru saja turun setelah mengantar Harry ke kamar, berbelok menuju koridor lain hanya untuk dihadang oleh si kembar >
Glorfindel: (menaikkan alis) Apa?
Elrohir: Kau tidak membuangnya, kan? (memasang wajah skeptis)
Elladan: Atau memasukinya ke gudang alih-alih kamar tamu? (menyipitkan mata)
Glorfindel: (menghela napas) Sebenarnya... Elf macam apa aku di mata kalian?
Elladan & Elrohir: ELF TUA SOMBONG DAN LICIK!!
Glorfindel: (tersenyum pahit, berusaha sebisa mungkin tidak menjewer mereka karena bagaimanapun juga ini adalah anak-anaknya Elrond)
Notes:
Elvish Phrases:
Adar/Ada = Ayah
Arda = Middle Earth
Muindor nin = Saudaraku
Imladris = Rivendell
Istari = Wizards
Mithrandir = Gandalf's nickname by the Elvesh
Estel = Aragorn's name by the Elvesh, means hope
Chapter Text
Sesuai perkataannya, Glorfindel menjemput Harry untuk makan malam. Sebelumnya, seorang Elf perempuan telah mengantarkan beberapa setel pakaian yang kemudian ia simpan ke dalam lemari. Harry memilih untuk mengenakan tunik putih dengan ukiran emas di bagian pundak hingga dadanya, tunik itu yang terlihat paling formal dibanding yang lain. Menurut Harry, warna putih lebih cocok dikenakan pada malam hari ketika aktivitas fisik tidak menjadi fokus utama, juga akan lebih sesuai untuk menghadiri pertemuan nanti. Bahan celananya lurus, membentuk kaki ramping Harry namun tidak terlalu ketat.
Sebagai tambahan, ia juga menambahkan beberapa aksesoris keluarga Rosier hanya untuk mempertegas identitas aslinya. Aksesoris tersebut berupa cincin Lordship dengan batu ruby di tengahnya yang dikelilingi oleh kelopak mawar dan anting tunggal untuk telinga kanan. Dia juga mengeluarkan kalung yang selama ini disembunyikannya dibalik kain pakaian. Itu merupakan salah satu pusaka kuno Black yang memiliki bentuk distorsi antara gagak dan bulan sabit, sebagai simbol keluarga tersebut. Arcturus memberikannya kepada Harry sehari sebelum ia meninggal dunia sebagai Black terakhir.
Rambutnya disisir agar lebih rapi, beberapa helai poni diletakkan ke belakang telinga untuk menonjolkan antingnya. Melihat sekilas pantulan dirinya di kaca, ia tampak seperti pureblood terhormat. Bukan berarti Harry senang memamerkan status keluarga atau kedudukannya, hanya saja, hal tersebut sudah ditanam sejak kecil sebagai bagian dari dirinya. Ke mana pun ia melangkah, Harry harus membawa serta nama Rosier bersamanya. Ia juga menghargai keluarga Black yang telah berjasa dalam membesarkan dan berkorban untuknya selama ini.
Ketukan di pintu menandakan sang Lord Elf telah berada di luar. Harry segera membukanya dan menyambut sosok itu dengan senyum lembut. "Selamat malam, Glorfindel."
Peri itu terdiam sejenak menatap pemuda di hadapannya. Kemudian dia tersenyum. "Selamat malam, Harry, kau terlihat luar biasa. Aku harap kau beristirahat dengan baik."
"Terima kasih dan jangan khawatir, semuanya terlalu nyaman sampai-sampai aku tertidur ketika sedang berendam."
Glorfindel mendengus geli mendengar itu. "Meskipun aku senang kau menikmatinya, itu cukup berhaya untuk dilakukan." Kemudian ia mulai menuntun Harry untuk mengikutinya menuju ruang makan, tempat di mana semua Elf Rivendell berkumpul saat ini. "Elrond memintamu untuk duduk di meja yang sama dengannya. Apakah kau keberatan?"
"Sama sekali tidak. Aku merasa terhormat bisa duduk di meja yang sama dengannya. Apakah kau akan berada di sana juga, Glorfindel?"
"Tentu. Akan ada teman-temanmu juga dan si kembar, serta anak perempuan Elrond, Arwen."
Harry menaikkan kedua alisnya. "Tidak ada Gandalf dan Lady Galadriel?"
"Mereka berdua sudah lebih dulu makan malam dan kini tengah mendiskusikan sesuatu. Kita akan menemuinya segera di pertemuan nanti."
Mereka pun berjalan dengan tenang memasuki ruang makan. Ruangan itu lebih tampak seperti aula makan, bahkan lebih besar dari restoran yang pernah ia jumpai, mungkin karena tujuannya agar dapat menampung semua penduduk sekaligus pengunjung Rivendell. Dari apa yang Harry dengar, Rivendell merupakan satu-satunya wilayah kekuasaan Elf yang sering menerima tamu dari berbagai ras, mereka sangat terbuka kepada siapapun yang ingin berkunjung atau sekedar meminta bantuan penyembuhan Lord Elrond.
Harry bisa merasakan banyak pasang mata yang menatap ke arah mereka. Mungkin itu karena keberadaan Glorfindel, pikirnya singkat. Sama sekali tidak menyadari bahwa mereka semua juga menaruh rasa penasaran pada sosoknya yang anggun dan tampak seperti bangsawan, meskipun dengan tunik sederhana dan rambut tergerai. Benar, walaupun tunik itu cantik dan formal, namun bukanlah yang terbaik dari yang para Elf miliki. Bagaimanapun, Harry adalah tamu, dan kenyamanannya lebih didahulukan.
Lord Elrond adalah yang pertama menyadari keberadaannya. "Selamat malam, Hadrian. Silahkan buat dirimu senyaman mungkin dan nikmatilah sajian kami."
"Tentu, terima kasih Tuanku."
"Elrond saja tidak masalah." Harry mengangguk menanggapinya.
Kemudian Halbarad yang menyadari penampilan Harry mulai menatapnya takjub, sebelum bersiul santai dan berkata, "Kau terlihat seperti tuan putri yang hilang dan berhasil ditemukan kembali."
"Ah ya, pada dasarnya aku memang ditemukan kembali oleh kalian berdua, ingat?" Harry menyeringai, membuat kedua Ranger menggeleng-gelengkan kepala mereka.
Kemudian Harry berkenalan dengan anak perempuan Elrond. Wanita itu sangat cantik, dia bisa mengatakannya sebagai Elf maiden tercantik sejauh Harry memandang Rivendell. Kecantikan yang sama yang dimiliki oleh Lady Galadriel. Namun tidak seperti neneknya yang memancarkan kekuatan, aura Arwen lebih condong pada kehangatan sekaligus kasih sayang mendalam. Dia memuji cincin dan anting yang Harry kenakan, membuat si kembar ikut merasa tertarik dan mereka pun hanyut dalam percakapan ringan tentang berbagai hal.
Satu hal yang Harry pelajari malam itu adalah, akan menjadi bahaya besar bila si kembar dipertemukan dengan Halbarad. Merlin, mereka bertiga tidak henti-hentinya menggoda Harry! Halbarad saja sudah mimpi buruk, sekarang dia ketambahan dua setan (yang sialnya tampan) dan mengingatkan Harry akan kedua saudaranya dulu, Sirius dan Regulus. Memang kedua kakaknya tidak kompak dalam banyak hal, namun mereka selalu kompak dalam hal menggoda si Rosier.
Seseorang benar-benar harus melemparkan mantera pembungkam mulut pada Halbarad. Pria itu menceritakan semua aib Harry selama 5 tahun terakhir! Dari gaya tidurnya yang seperti diterpa topan, betapa jijiknya dia ketika pertama kali diminta membersihkan kandang, sampai Harry yang bisa memanjat pohon tapi tidak bisa turun. Entah sudah berapa kali si kembar menertawakan cerita-cerita Halbarad. Tunggu, tidak hanya si kembar, tapi seisi meja telah menertawakannya bahkan Lord Elrond! Harry merasa dikhianati.
"Kau seperti kucing. Bisa memanjat tapi tidak bisa turun," ejek Elrohir tiba-tiba.
Elladan terkikik dari sampingnya. "Jangan khawatir Harry, kami bisa mengajarimu tata cara turun dari pohon jika kau mau."
Harry mendesah jengkel. "Seharusnya aku menendang Halbarad sebelum duduk di sini."
Pria yang dimaksud sama sekali tidak merasa bersalah, dia terus tersenyum seperti orang bodoh yang membuat Harry berpikir rencana balas dendam macam apa yang akan dia lakukan. Rambut Halbarad sudah lama kembali hitam, dan mewarnainya lagi terasa membosankan. Mungkin dia bisa melakukan sesuatu dengan pakaiannya. Seperti mengubah semuanya menjadi gaun berenda atau mungkin mengecilkannya hingga seperti crop top.
"Ada sesuatu tentang dirimu yang tidak kumengerti."
Pertemuan itu diadakan di menara teratas Rivendell, dihadiri oleh lebih banyak orang dari yang Harry duga. Lord Elrond, Lady Galadriel, Glorfindel, Aragorn, Halbarad, dan dua Elf pria yang tak ia kenal berdiri di dekat pintu. Glorfindel berkata jika salah satu Elf itu bernama Haldir, dia merupakan pengawal pribadi Lady Galadriel yang menemaninya selama kunjungan ke Rivendell, dan berasal dari Lothlorien juga. Sementara yang satunya bernama Erestor, penasihat Lord Elrond.
Harry sedikit memiringkan kepalanya pada Galadriel. "Dan apa itu, My Lady?"
Tidak seperti kebanyakan orang yang memilih duduk di bangku, penguasa Lothlorien itu berdiri dengan anggun sambil sesekali memandang ke luar. Kedua lengannya saling bertautan di belakang, gaun putihnya yang panjang bersinar cerah di bawah cahaya bulan. Meskipun suasana mereka cukup tegang, namun Harry masih bisa mengagumi kesempurnaan tidak manusiawi yang dimiliki oleh Galadriel. Wanita itu seperti keluar dari buku dongeng, dia adalah perwujudan dari apa yang diharapkan kaum Veela untuk mereka miliki. Namun tidak, kecantikan fana para Veela tidak akan pernah sebanding dengan kecantikan alami Elf.
Rosier sendiri mengaliri garis keturunan vampire dalam nadi mereka. Itulah mengapa keluarganya, dan bahkan Harry sendiri, memiliki paras cantik dan masuk ke dalam kategori penyihir dengan umur terpanjang. Rata-rata usia penyihir tidak lebih dari 150 tahun, hanya Nicolas Flamel yang mampu mencapai usia 667 tahun berkat Philosopher's Stone ciptaannya. Namun sekali lagi, salah satu leluhur Rosier pernah menikahi seorang vampire yang membuat usia generasi penerus mereka hidup hingga 300-500 tahun. Jadi, bahkan bila Harry tidak mengalami insiden dengan Death, dia akan tampak sama muda dan rupawannya di usia sekarang.
Galadriel berhenti, menatap dalam pada mata hijau Harry yang membuatnya tertarik sedari awal. "Aku melihatmu datang ke dunia ini. Aku bisa merasakan hutan dan seisinya berbisik tentang kehadiranmu. Aku bisa merasakan sihirmu, sangat kuat dan tak biasa. Tapi ada sesuatu yang aku tidak bisa mengerti..." kalimatnya terhenti sesaat ketika ia mendekat pada pemuda itu. "Katakan padaku Hadrian, hal apa yang telah menyentuh jiwamu?"
"Jiwa?" Elrond mengulangi, penuh penasaran.
Namun Harry hanya berujar lirih, "Aku khawatir aku tidak mengerti maksudmu, My Lady."
"Aku bisa merasakannya, Hadrian. Auramu, jiwamu, sesuatu di dalam tubuhmu terasa tidak biasa. Ini bukan sihir, ini sesuatu yang melebihi batasan sihir itu sendiri." Galadriel mengulurkan jemari lentiknya untuk bisa mengelus sisi wajah Harry. Sentuhan tersebut terasa sangat lembut hingga membuatnya merinding. "Kau memiliki aroma kematian... tetapi juga kehidupan."
Semua orang di ruangan lantas menatapnya dengan bahu yang berdiri tegang. Harry bisa merasakan kewaspadaan, meskipun Aragorn dan Halbarad telah memberinya dukungan melalui mata mereka. Tanpa sadar ia menghela napas, sama sekali tidak mengharapi Elf akan punya kelebihan lain selain fisik dan paras mereka. Galadriel jelas bukan sembarang Elf, Harry kini menyadari darimana aura itu berasal. Hampir seolah sosoknya merupakan penopang dari kehidupan Elvesh itu sendiri. Andaikata ia tahu tangan yang lentik itu menggenggam lebih banyak kekuatan, mungkin Harry akan bermain aman sedari awal.
Namun nasi telah menjadi bubur. Tidak ada cara untuk menutupi rahasianya dengan Death bahkan jika ia mencoba. Mereka berada di posisi waspada, dan itu bisa dipahami mengingat kehadirannya sendiri sangat tidak biasa. Harry juga akan melakukan hal yang sama di kehidupan lamanya jika saja ada seseorang yang mengaku datang dari dunia lain dan membawa kekuatan yang luar biasa besar. Masalahnya adalah... bagaimana meyakinkan mereka semua bahwa ia, dalam kondisi dan cara apapun, tidak akan pernah berbalik arah dan menjadi musuh bagi Middle Earth?
Gandalf yang sedari tadi diam akhirnya buka suara. "Kami hanya khawatir, Nak. Kejahatan di dunia ini mungkin terlalu besar untuk ditanggung seseorang sepertimu. Musuh mungkin akan mencari segala cara agar bisa memanfaatkanmu."
"Aku sama sekali tidak meragukan itu, Gandalf The Grey. Aku yakin musuh tidak akan mendapati diriku di kaki mereka dengan cara apapun. Hanya saja, beberapa hal yang kubawa dari duniaku merupakan sebuah rahasia yang tidak bisa dibagi pada sembarang orang."
"Dan kau telah menemukan orang yang tepat untuk dibagi." Ketegasan Elrond nyaris membuatnya buta akan kepedulian yang ada di balik ekspresi itu. Sang penguasa Rivendell melanjuti, "Kau telah membawa rahasia itu ke dunia yang bukan milikmu, dunia yang sedang dikuasai oleh kegelapan sejak ribuan tahun lalu. Merahasiakannya bukanlah pilihan bijak yang bisa kau lakukan saat ini, Hadrian."
Dia bisa merasakan lengan Halbarad menggenggam miliknya dari bawah meja. Sesuatu yang sangat ia butuhkan, tanpa sadar telah memberinya sedikit ketenangan. Harry tidak tahu harus memulai semua ini dari mana, bahkan di dunia lama, hanya keluarga Harry yang tersisa yang mengetahui tentang kondisi spesialnya. Ah, dia juga terpaksa membuat sumpah kerahasiaan dengan The Unspeakable Britania Raya guna mengkondisikan media dan publik setelah kegemparan yang ia buat. Bukan pengalaman yang menyenangkan meskipun itu cukup menghibur.
Harry menghela napas. Ini mungkin bukanlah permulaan yang bagus.
"Di duniaku, kami memiliki cukup banyak konflik yang sayangnya semua itu melibatkanku. Ada suatu insiden yang membuat Thanatos atau Death, pada dasarnya seperti Valar, mengikat jiwaku padanya. Itu bukan kutukan, hanya membuat kami terikat dalam satu dan banyak hal."
Mereka semua terkesiap. Glorfindel adalah yang pertama sadar setelah memproses kata-katanya. "Kematian? Kau terikat oleh sosok seperti itu?"
"Mungkin terdengar mengerikan, tapi kami hanya memiliki tiga Valar. Death tidak hanya mengurusi jiwa-jiwa yang mati, tanggung jawabnya mencakup banyak hal." Harry tersenyum. "Maaf, tapi aku tidak bisa mengatakan lebih dari ini. Namun kau bisa memegang janjiku untuk tidak pernah mengkhianati kehidupan di Arda." Sebagai gantinya, ia kemudian menceritakan kembali segala yang telah ia bagi kepada Aragorn, Halbarad, dan beberapa Elf sebelum ini. Tentang bagaimana dunianya memiliki banyak penyihir, peradaban yang lebih maju, kepadatan manusia, hingga berbagai macam konflik.
Lalu terbitlah pertanyaan,
"Tunggu, berapa usiamu?" Halbarad bertanya. Pertanyaan yang sangat ingin dia suarakan sejak lama namun entah mengapa mereka terus saja lupa atau tak memiliki kesempatan.
Mata hijau Harry berkedip. Pipinya memerah ketika ia menunduk sambil memegang tengkuk. "147 tahun."
Reaksi teman-temannya bukanlah yang terbaik. Penghuni Rivendell mungkin terkejut, tapi para Ranger yang sedari awal menemukan Harry dan menganggapnya sebagai seorang pemuda (mungkin juga anak sendiri) jelas lebih terkejut lagi. Itu bisa dimengerti, dia tidak pernah benar-benar mengoreksi keduanya setiap kali mereka memanggil Harry anak kecil. Bukan berarti dia memiliki fisik sekecil itu. Hanya saja sebagai manusia yang mengaliri darah Elf, Aragorn dan Halbarad memiliki perawakan yang muda meski sebenarnya mereka sudah sangat tua, yang membuat keduanya sering menganggap manusia biasa sebagai anak kecil. Harry juga baru-baru ini mengetahui jika Aragorn berusia 53 tahun dan Halbarad 68 tahun. Dengan anggapan awal bahwa Harry hanya seorang manusia, tidak heran mengapa mereka menganggapnya anak kecil!
"Bagaimana bisa?" Aragorn mengernyit. "Bukankah kau bilang penyihir di duniamu tetap tergolong manusia?"
"Benar. Tapi berkat ikatanku dengan Death, aku berhenti menua di usia 20 tahun."
"Jadi kau abadi? Seperti Elf?"
"Bisa dibilang begitu."
Gandalf, yang selalu riang dengan segala hal, tersenyum geli sambil memainkan janggutnya. Matanya berbinar, seolah ada percikan kembang api di sana. "Baiklah, Nak Hadrian, kuakui itu adalah pengakuan yang paling mengejutkan selama puluhan ribu tahun aku hidup."
Tidak ada seorang pun yang mampu menahannya dari kegembiraan untuk mendapati teman istari lagi, bukan sembarang istari tetapi istari muda dari dunia lain! Gandalf bertanya-tanya apakah Saruman mengetahui tentang ini, karena dia sendiri pun tidak akan tahu andaikata Lady Galadriel tidak membagi penglihatannya beberapa hari lalu. Penguasa Lothlorien itu telah mendapati penglihatan kasar tentang kehadiran seseorang yang sangat penting 5 tahun lalu, namun karena satu dan banyak hal, ia sengaja menunggu hingga sosok tersebut datang sendiri kepada mereka. Galadriel tahu, bahwa pemuda dalam bayangannya akan mencapai Imladris suatu saat nanti, maka dari itu ia terus menanti.
Wanita itu menatap kembali pada bintang utama mereka. Hadrian, istari yang datang dari dunia lain atas kehendak kaum Valar yang entah atas dasar apa. Dia tidak bisa benar-benar mempercayai pemuda itu meskipun ia ingin, bahkan sudah sejak lama beberapa kelompok Elf menolak untuk berhubungan kembali dengan para Valar. Tidak semua pilihan Valar merupakan yang terbaik, mereka bahkan bisa mengacau dan menambah masalah baru bagi anak-anak Eru Ilúvatar.
Sauron, sosok hina yang telah menghancurkan banyak jiwa setelah Morgoth, adalah bukti nyata bahwa kau tidak dapat mempercayai sembarangan orang begitu saja. Meski firasatnya menerima kehadiran Hadrian, namun bagaimana cara mereka untuk membuktikan bahwa istari muda ini benar-benar tidak akan berkhianat? Anak itu bahkan tidak tahu untuk apa dia berada di sini, lantas bagaimana Galadriel bisa mempercayainya begitu saja? Dia tidak bisa melihat lebih banyak, bahkan ke dalam pikiran Hadrian, semua itu membuatnya semakin gelisah.
Setelah perenungannya yang cukup lama, akhirnya Galadriel membuat keputusan.
"Tinggal lah di Rivendell, Hadrian Rosier." Semua mata seketika tertuju padanya. "Kita tidak tahu apakah Sauron mengetahui keberadaanmu, kita tidak bisa mengambil resiko. Apapun alasan keberadaanmu di sini, biarkan Elrond dan Imladris membimbingmu, menjagamu, dan menuntun arah untukmu. Jadi menetaplah di Imladris sampai pada waktu yang ditentukan."
"Waktu yang ditentukan?" gumam Harry. "Tepatnya kapan waktu itu tiba?"
Kali ini Gandalf lah yang menjawab. "Tak seorang pun tahu, saudaraku. Hanya jika waktunya benar-benar tiba, kita semua baru akan mengetahuinya."
Baiklah, itu membuka lebih banyak lubang pertanyaan dalam benak Harry, dia mendesah. Sepertinya di dunia mana pun ia berada, masalah akan selalu mengikutinya bagai lebah yang mengejar nektar. Dia hanya berharap dapat kembali kepada Death suatu saat nanti, menonjok perutnya (meski tak akan berarti apapun bagi makhluk purba itu) dan berteriak bahwa dia tidak akan menuruti semua omong kosongnya lagi!
Saat aku menangkapmu Death, akan kupastikan kau membayar semua ini dengan sesuatu yang sepadan!
Semuanya berlebihan.
Kekuatan ini, penglihatan ini, efek yang ditimbulkannya... berlebihan. Tidak satupun dari apa yang disebutkan merupakan keinginannya. Harry tahu hidup tidak pernah mudah, dia mengerti lebih baik dari semua penyihir seusianya bahwa ada banyak hal yang perlu dibayar hanya demi satu kehidupan. Begitu banyak pengorbanan, begitu banyak harapan. Setiap jiwa yang mati akan tergantikan oleh jiwa baru yang lahir. Setiap kenangan baik akan ditangguhkan pada pengalaman pahit lainnya. Tidak ada yang gratis.
Apa yang terjadi padanya merupakan sesuatu yang berada di luar kuasanya. Takdir, jika sosok itu benar-benar nyata seperti sosok lainnya yang kini menghantui Harry di tiap-tiap mimpi, maka ia bersumpah akan melemparkan makian penuh kepada yang bersangkutan. Semua omong kosong takdir ini mulai menyakitkan, memuakkan. Tidak satupun yang dapat ia genggam sendiri, tak satupun yang dapat ia kuasai. Seolah dirinya hidup hanya untuk menjadi boneka marionette para Dewa, bergerak dan bertarung demi hiburan teater yang mereka rancang di kala bosan.
"Persetan denganmu! Jika kau memang memiliki kuasa atas segala hal ini, maka hentikan saja! Tak satupun dari ini yang kuinginkan!"
Thanatos, atau begitulah cara Death menyebut dirinya sendiri, bergeming di hadapan Harry tanpa sedikit pun emosi. Mereka adalah makhluk purba, sesuatu seperti gejolak emosi bukanlah sifatnya, meskipun mereka masih bisa marah jika memang dipancing. Auranya berat, gelap, dan dapat melemahkan siapapun yang tidak cukup kuat untuk menghadapinya secara langsung. Namun Harry tidak pernah menjadi penyihir lemah, dia berdiri dengan tangguh di hadapan sosok berjubah hitam yang terbang setengah meter di atas permukaan tanah, tidak ada kaki yang terlihat, hanya lambaian kain yang tertiup angin.
Bahkan dalam mimpi pun, Harry merasa hawa dingin yang ditimbulkannya terlalu nyata. Jika dia menunduk, mungkin dia dapat melihat kristal es mulai terbentuk di bawah kaki mereka. Embunnya lebih pekat dari musim dingin, angin yang dibawa memiliki tekanan lebih berat dari gumpalan salju. Tetapi sekali lagi, bahkan sejak kecil Harry tidak pernah merasa kesulitan berada di bawah suhu rendah, dia selalu baik-baik saja meski sekelompok anak melemparinya dengan banyak bola salju.
"Kau adalah yang terpilih, suka atau tidak," Thanatos berkata. Suara bass-nya bagai bergema dalam gua, mungkin Harry benar-benar akan dibuat merinding jika saja ini bukan pertemuan ketiga mereka. "Kau mewarisi kekuatanku, kau memiliki akses untuk melihat wilayahku."
Wilayah yang dia maksud adalah kematian, dimensi berbeda di mana jiwa-jiwa tanpa tubuh berkeliaran dalam satu dunia yang sama. Harry tidak pernah menginginkan penglihatan itu. Dia sama sekali TIDAK berharap memiliki kemampuan untuk melihat bahkan berinteraksi dengan jiwa-jiwa yang mati. Mereka semua bencana, mereka semua mengerikan!
Saat terbangun di rumah sakit setelah koma panjang selama hampir tiga tahun, Harry tidak pernah siap untuk dihantam oleh kenyataan lain bahwa kini ia mampu melihat kematian. Bangun di rumah sakit yang menjadi tempat perkumpulan utama mereka sama sekali tidak membantu. Dia mengalami kejang dan serangan panik karena banyaknya jiwa-jiwa mati yang datang mengerumuninya, seperti semut melihat gula. Seorang dokter sampai harus menyuntikkan obat bius agar dia berhenti mengamuk di koridor, melambaikan tangannya dengan kasar guna mengusir roh-roh sialan itu.
Selama seminggu ia terus diberi obat penenang, diberitahu bahwa semua yang dia lihat hanyalah khayalan. Bahwa tidak ada pria tanpa mata yang mencarinya, bahwa wanita hamil yang perutnya hancur akibat kecelakaan portkey itu bukanlah wanita yang sama yang baru saja mereka kuburkan tempo hari, bahwa kakek tua yang meminta bantuannya bukanlah kakek tua yang koma di ruang sebelah. Omong kosong, Harry tahu kapan dia berhalusinasi dan tidak. Dia hanya ingin tenang tanpa satupun jiwa sialan yang mencoba meraihnya.
Tiga minggu kemudian, setelah ia dinyatakan sembuh dan dapat kembali ke rumah, Death mulai menghantui alam mimpinya. Satu-satunya tempat yang ia kira aman, ternyata dapat diakses begitu mudah oleh para Dewa. Harry bahkan tidak pernah menganggap serius keberadaan sosok itu sebelum ini, dia menganggap Death tidak lebih dari kisah tiga bersaudara, dongeng para anak-anak sihir. Meski nyata, namun kehadirannya sudah lama tidak dirasakan oleh kaum mereka. Lalu di sinilah dia, datang tak diundang untuk mengklaim Harry sebagai salah satu ikatannya.
Siapa sangka omong kosong tentang Master of Death berarti penyihir yang ditakdirkan untuk menjadi pelayan Thanatos? Dunia sihir benar-benar perlu merevisi catatan mereka.
"Aku mohon, hentikan saja. Semua ini tidak akan berhasil, aku tidak menginginkannya. Kau bisa mencari orang lain, ada banyak penyihir kuat selainku. Hanya... tolong tinggalkan aku sendiri dan cabut semua hal tentang ini." Dia belum pernah mendesah seberat ini. Tidak bahkan ketika menghadapi penyihir gila yang berkomitmen untuk menghabisi garis keturunan Rosier.
"Tidak ada penyihir yang lebih kuat darimu. Tidak ada penyihir yang lebih bijaksana darimu. Tidak ada penyihir lain yang pantas mewarisi kekuatanku selain dirimu, Hadrian Rosier," Thanatos bersikeras. "Sejak lahir kau adalah milikku. Jiwamu dibentuk olehku dan hanya kepadaku. Tidak ada kekuatan di alam semesta ini yang mampu mengubahnya, karena aku hanya memilihmu dan kau selamanya adalah milikku."
Harry mendengus. "Aku bukan milik siapa-siapa. Aku adalah milik diriku sendiri."
Thanatos tidak tampak marah dengan bantahan kasarnya, pun tidak tersinggung. Dia tetap diam tanpa emosi bagai patung Yunani. Harry tidak dapat menilai wajahnya karena sebagian besar tertutupi oleh tudung jubah, dan ada cahaya hitam yang mengaburkan penglihatannya. Namun, ia bisa dengan jelas merasakan tekanan yang memberat di udara sekitar. Suatu penegasan tentang betapa seriusnya kata-kata yang akan dia ucapkan, tentang hal-hal yang tak dapat dibantahkan oleh makhluk biasa sepertinya. Harry bergetar tanpa sadar, dingin merayapi dari ujung jari hingga ke leher. Membuatnya sulit bergerak bahkan untuk berkedip. Sementara sosok itu tetap berdiri tangguh di hadapannya, sama sekali tak gentar. Auranya menyapu kulit Harry bagai selembar bulu, mengelilinginya dan mendekapnya dalam gelombang energi.
Kemudian, suara Thanatos yang rendah namun lembut bergema dalam kepalanya. "Kau adalah anakku, muridku, ikatanku, bagian dari kekuatanku. Takdirmu bukanlah kesalahan dan kehidupanmu bukanlah bencana. Biarkan aku menuntunmu, biarkan aku menunjukkan kepadamu siapa dirimu yang sebenarnya."
Hari itu, Harry terbangun dengan lambang Deathly Hallows di dadanya, terbingkai dalam jalinan kelopak mawar.
< OMAKE >
Lindir: Lord Glorfindel, sudah menjadi tugasku untuk mengantar dan mengurus para tamu kita. Lord Elrond telah memberiku tanggung jawab ini sejak lama.
Glorfindel: Tidak kali ini.
Lindir: (melotot)
Glorfindel: (balas melotot balik)
Lindir: Aku akan menjemput Hadrian.
Glorfindel: Kau tidak akan bisa, karena aku sudah membuat janji untuk itu.
Lindir: (melotot lagi)
Glorfindel: (balas melotot lagi)
...
Halbarad: (asik menceritakan semua tentang anak asuhnya) Begitulah cara Harry terjebak di puncak pohon.
Elladan: (tertawa) Jangan khawatir adik kecil, aku akan membuatmu menjadi makhluk pohon seperti para Elf.
Elrohir: (berpikir: membayangkan adik barunya menjadi kucing dan terjebak di atas pohon) Kita harus menyelamatkan anak kucing yang tersangkut!
Harry: ...
Arwen: (sudah memiliki firasat tentang apa yang akan terjadi) Sebaiknya jangan buat Ada sakit kepala lagi.
...
Harry: Aku berusia 147 tahun.
Glorfindel: ...
Elrond: ...
Galadriel: ...
Erestor: ...
Haldir: ...
Gandalf: (mengusap janggutnya)
Aragorn: (terkejut, memikirkan kembali tentang anak gadisnya yang ternyata seorang pria matang berusia lebih dari satu abad)
Halbarad: (lebih terkejut lagi, memegang dadanya seolah mengalami serangan jantung) Tidak... aku tidak terima ini. Anak yang kubesarkan ternyata lebih tua dariku!
Aragorn dan Halbarad beberapa saat kemudian: Yah persetan dengan usia, kau tetap anak kami.
Harry: ...
Notes:
Elvish Phrases:
Adar/Ada = Father/Dad
Arda = Middle Earth
Muindor nin = My brother
Imladris = Rivendell
Istari = Wizards
Mithrandir = Gandalf's nickname by the Elves
Estel = Aragorn's name by the Elves
Elleth = Elf-maid/Elf-woman
Chapter 7: Man of Rose
Notes:
Aku baru menyadari bahwa sebelum ini aku banyak melakukan kesalahan pada kata-kata elvish... seperti istari yang ternyata bersifat plural. Ke depannya aku akan lebih berhati-hati.
Ah, dan akhirnya kita akan melihat kenapa cerita ini kuberi judul Red Rose (aku berpikir untuk mengganti judulnya ke Man of Rose, menurut kalian mana yang lebih baik?) Sesungguhnya aku benar-benar payah dan plin-plan dalam menentukan judul (sigh)
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Dia mengenali tatapan itu.
Alphard hanya akan melihatnya dengan sedikit cara. Kasih sayang, ketegasan, kebanggaan, dan pengertian. Keluarga Black memang tidak dikenal ekspresif, mereka cenderung menahan segala bentuk emosi untuk mempersulit lawan politiknya. Semakin sedikit yang kau ketahui, semakin sedikit perlawanan yang bisa diberi. Mereka adalah bangsawan kuno, terlahir dan dibesarkan untuk menjadi kuat, dan meskipun semua Black menyayanginya, tidak ada alasan bagi mereka untuk memanjakan Harry lebih dari yang diperlukan.
"Kau tahu semua ini demi kebaikanmu," dia berujar, seolah kalimat tersebut belum diucapkan 18 kali.
Tentu, tentu saja dia tahu.
Ia menatap pada ayahnya yang kini berlutut, membungkus kedua tangannya dalam genggaman yang hangat. Sebesar apapun keinginan Harry untuk membuang muka, dia tidak akan pernah mampu melakukannya pada Alphard. Pria itu tidak pantas mendapati apapun selain kehormatan. Dia telah berjuang banyak untuknya, untuk seorang anak yang tidak memiliki hubungan darah apapun dengan mereka. Anak malang yang ditemukan meringkuk seorang diri di dalam reruntuhan bangunan. Anak yang tidak pernah diketahui akan memberi begitu banyak beban bagi orang-orang di sekitarnya.
"Hadrian, lihat aku."
Dia melakukannya, meski lebih banyak dorongan untuk menolak. Kabur, ke mana pun itu asalkan dia bisa melarikan diri dari semua hal yang terjadi. Cara Alphard menatapnya sangat dalam, menyayat dengan sesuatu yang tak kasat mata, berat oleh tekanan yang tak mampu ditampung bumi.
"Tidak ada jaminan ritual itu akan berhasil. Tapi kita perlu mencobanya."
"Kita sudah mencobanya."
"Ya, dan kita perlu mencobanya lagi."
Harry diam. Menunduk untuk mengistirahatkan sesaat matanya dari perhatian sang ayah. Tanpa sadar telah mencekram tangannya sendiri terlalu kuat, kuku jarinya memutih, pasti akan ada jejak kemerahan jika dia membuka kepalan tersebut.
"Itu sakit."
Kata-katanya diucapkan lebih lirih dari yang dia duga. Hampir seperti putus asa, kepasrahan, menolak apapun yang dunia coba tawarkan. Mereka sudah melakukan ini dua kali, dan dia sama sekali tidak menyukainya. Ritual itu, meski ditujukan untuk kebaikan dia sendiri, sama mengerikannya dengan mimpi buruk yang selama ini ia alami. Harry adalah seorang Gryffindor, benar. Tetapi bahkan seekor singa pun akan berbalik arah jika menyadari ancaman yang tak sanggup mereka hadapi. Seperti, kau tahu kau telah kalah hanya dengan melihatnya.
Genggaman Alphard pada tangannya menguat, namun tidak dalam cara yang menyakitkan. Dia juga mengelus buku jari Harry, menawarkan sedikit kenyaman atas kegelisahan yang dia alami. Atas sesuatu yang berada di luar kuasa mereka.
"Aku berjanji ini yang terakhir kalinya. Jika masih tidak berhasil, aku tidak akan memaksamu untuk melakukannya lagi."
Harry mendongak, menatap iris perak ayahnya seolah mempertanyakan keseriusan dalam pernyataan tersebut. Sebuah janji, yang diungkapkan tidak secara lisan, namun lebih kuat dari yang bisa dia percayai. Alphard tidak pernah melanggar kata-katanya, Harry meyakini itu lebih besar dari dia mempercayai keadilan di kehidupan yang fana ini.
Lalu saat ia akhirnya mengangguk, Alphard membawanya ke dalam dekapan hangat. Mencium pucuk kepalanya dan mengelus punggungnya. Dia tidak menyanyikan lullaby, tidak. Itu bukan sifatnya. Tetapi kehadiran pria itu sendiri cukup untuk menjinakkan rasa takut Harry. Memberi dia keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa besok tidak akan sama dengan kemarin, bahwa dia tidak pernah sendiri dalam menghadapi semua ini.
"Tidurlah, anakku."
Harry terbangun di tengah malam. Suasana ini masih terlalu asing, mimpi yang tak diharapkan pun datang tanpa diminta. Dia memutuskan untuk turun dari ranjang setelah menyadari tidak ada gunanya memandang langit-langit kamar. Mungkin sedikit udara segar dapat memperbaiki suasana hatinya. Lagi pula, alam Rivendell memang sangat luar biasa. Asing, namun menjanjikan ketenangan.
Dia melangkah menuruni jalan setapak yang belum sempat dilewatinya. Glorfindel tidak menggunakan jalan ini saat membawa Harry menuju aula makan, jadi tidak ada salahnya mencari tahu. Lagi pula, Lady Galadriel memintanya untuk tetap tinggal, maka tak ada alasan bagi mereka menghalanginya dari berkelana di wilayah Elrond. Toh, dia hanya mengikuti kemana angin membawanya.
Rivendell luas, ia menyadari. Seharusnya ada tempat di mana Harry bisa duduk seorang diri tanpa seorang pun memperhatikan. Dia tahu Elf tidak butuh tidur, Aragorn telah memberitahunya tentang informasi ini. Namun mereka tetap beristirahat yang bagi manusia lebih seperti tidur tanpa mimpi, tanpa kehilangan kesadaranmu 100%, dan itu dapat di mana saja. Jika tidak di kasur, mereka bisa melakukannya di atas pohon, rumput, bangku taman, bahkan sambil berdiri! Itu membuatnya sedikit khawatir untuk ditemukan Elf lain.
Dia merasa dorongan alam membawanya sampai ke titik ini. Sebuah gazebo putih di tengah taman yang luas. Letaknya cukup tinggi sehingga ia mampu memandang langit malam dengan leluasa. Cahaya bulan menyinari tempat itu, bintang-bintang bertebaran indah di angkasa. Harry mendapati dirinya terpejam saat menyentuh pinggiran pagar kayu. Ada banyak sihir alam di Middle Earth, sihir mereka terasa sangat murni dan liar. Ia bisa merasakannya menggelitik di ujung-ujung jari.
Lalu, suatu kebiasaan lama yang sempat tertidur dalam dirinya pun bangkit. Sulur-sulur tanaman muncul dari dalam tanah, naik merambat dan melingkari pagar-pagar gazebo dengan batang-batang kecilnya dan sedikit duri. Harry pun membuka mata, tepat pada saat setangkai mawar tumbuh di antara jari telunjuk dan tengahnya. Mawar merah yang warnanya pekat bagaikan tetes darah. Dari satu menjadi tiga, lalu sepuluh, lima belas, dan pada akhirnya mawar yang merambat itu telah memenuhi tiap sisi gazebo.
Mata hijaunya menatap dengan takjub. Ini... ini sudah lama sekali. Harry tidak ingat kapan terakhir kali sihir Rosier membuatnya menumbuhkan mawar secara tidak sengaja. Sihir alam di dunianya telah lama pudar, sehingga berdampak pada tiap keluarga darah murni yang lambat laun kehilangan kemampuan mereka untuk mengaliri sihir keluarga. Sesuatu yang dibawa melalui genetik, aktif tanpa perlu lambaian tongkat sihir, respon alami tubuh yang tidak dapat ditiru orang lain.
"Kau menumbuhkan mawar..."
Jantungnya seketika berhenti berdetak. Hanyak untuk beberapa saat, Harry terdiam membeku di hadapan seorang Elf pengawal dari Lothlórien. Haldir, jika dia tidak salah. Orang itu ada di rapat dewan kemarin, berdiri di ambang pintu mengikuti ratunya. Sikap seorang prajurit yang sangat bijak, karena mereka tidak mungkin duduk di saat pemimpinnya berdiri.
Haldir, menatapnya dalam dengan iris abu-abu yang sedikit bersinar berkat rembulan. Kepalanya sedikit miring, seolah tengah mempelajari sosok Harry dalam berbagai aspek. Menilai, namun tidak menghakimi. Ada kilau penasaran yang terpampang nyata melalui cara dia perlahan mendekat kepada Harry, seorang istar asing dari dunia lain.
"Hadrian, benar?"
Dia mengangguk. Masih belum beranjak dari tempatnya berdiri di pinggir gazebo, namun membiarkan peri itu untuk masuk mendekatinya. Tidak dalam jarak yang melanggar batas privasi, hanya cukup dekat untuk saling berhadapan dan menyentuh satu sama lain bila diperlukan (tentunya tidak diperlukan).
"Itu tidak dilakukan dengan kata-kata, nyanyian, atau bahkan tongkat. Kau tidak memiliki tongkat seperti Mithrandir dan yang lain." Dia berhenti sejenak, seolah menimbang kata-kata yang hampir terlontar. "Bagaimana caramu melakukannya?"
Baiklah, dia mungkin benar-benar harus memperhatikan sekitar sebelum melakukan sesuatu. Apakah itu bahkan dapat disebut perbuatannya?
"Itu sihir keluargaku. Ada beberapa kemampuan yang hanya bisa dimiliki melalui garis keturunan. Beberapa kemampuan memerlukan kondisi tertentu untuk bisa mengaksesnya. Rivendell... memiliki sihir alam yang sangat besar, dan sepertinya itu memengaruhiku lebih banyak dari yang kuduga."
"Jadi kau bisa menumbuhkan tumbuhan dengan itu?"
"Jika dari sihir keluargaku, hanya mawar. Itu memang berbeda dari sihir biasa karena tidak memerlukan kata-kata atau perantara lainnya. Terkadang tidak disengaja, hanya dengan melakukan kontak fisik dengan alam saja sudah cukup. Namun mawar yang tumbuh juga berbeda, mereka kekal. Tidak dapat layu kecuali dirusak dengan sengaja."
Haldir tersenyum lembut, menatap kembali pada kelopak mawar yang tumbuh di sepanjang kayu putih. Menyentuhnya, meraba, merasakan lembut dari kelopak merah yang sangat indah meski berada di malam hari. Aroma dari bunga-bunga tersebut menyebar di sekitar mereka, mungkin juga lebih jauh lagi mengingat betapa banyaknya yang mekar. Jari-jari peri bergerak diantara batangnya yang merambat. Harry sedikit melotot, hendak memperingatinya sebelum hal itu terlanjur terjadi...
"Ah." Jari telunjuk Haldir terluka, setitik darah menetes dari ujungnya. Mereka berdua dapat merasakan bau besi yang timbul meski hanya dari goresan ringan. Elf itu mengangkat jarinya yang terluka, memperhatikannya sebentar sebelum menatap pria di hadapannya. "Sangat tajam."
"Maaf, mawar Rosier memang tumbuh dengan duri yang lebih tajam karena berfungsi sebagai pelindung, melindungi kediaman kami dari penyusup. Namun efek yang diberi tidak sama pada Rosier atau mereka yang terikat pada kami secara sah, seperti pernikahan."
Harry berbalik, mengulurkan tangan pada mawar yang tumbuh di sana. Dengan sengaja menggoreskan punggung tangannya sendiri pada banyak duri, tidak hanya satu. Haldir melotot, tidak dalam cara yang berlebihan namun keterkejutannya tetap jelas. Harry hanya tersenyum, mengangkat kembali tangannya untuk ditunjukkan lebih jelas pada peri itu. Dia bisa melihat darah-darah yang menetes deras di tiap goresannya.
Tepat sebelum tetesannya sempat jatuh menyentuh permukaan, secara ajaib mereka menghilang. Lenyap, bagai selembar kertas yang terbakar dan menyisakan percikan api kecil yang perlahan hilang dibawa angin. Semuanya lenyap, bahkan goresan di punggung tangan itu. Daging yang tadinya terbuka telah tertutupi tanpa meninggalkan setitik pun bekas, seolah sel-selnya bekerja lima puluh kali lebih cepat. Haldir belum pernah melihat sihir penyembuhan seperti itu, tak seorang pun Elf penyembuh yang ia kenal mampu melakukannya.
"Luka yang kami terima akan langsung sembuh, karena sebuah senjata tidak seharusnya dapat melukai tuan mereka."
Bila tadi ia sudah menatapnya dengan kagum, maka sekarang Haldir menatapnya lebih kagum lagi. Sang peri pengawal dari Lothlórien belum pernah menghormati anak kedua Eru lebih besar dari yang bisa diharapkan. Elf adaah banyak hal, namun kaumnya terkadang cukup sombong untuk menganggap makhluk fana seperti manusia setara dengan mereka. Dia hanya pernah menghormati Aragorn sebagai teman manusia, sebagai anak asuh Elrond, keturunan Elros, dan pewaris takhta Gondor. Lagipula dia memang sosok yang spesial.
Tapi orang ini? Manusia yang juga merupakan penyihir di hadapannya? Dia adalah pengecualian kedua.
"Kau membawa banyak kejutan, istar muda." Itu pengungkapan yang jujur, pujian yang tulus. Dia tidak sering mengakui keberadaan seseorang. Harry tersenyum menanggapi, sedikit tersipu atas sanjungan yang baru saja dia terima. "Namun sebaiknya kau tidak melukai dirimu sendiri dengan cara seperti itu lagi. Kau harus menghargai tubuhmu."
"Ah..." Dia tidak tahu harus berkata apa. Lagi pula itu benar. Harry sudah terlalu terbiasa dengan rasa sakit, sampai-sampai hal seperti ini tidak lagi menjadi sesuatu yang mengerikan. Setidaknya tidak untuk dirinya sendiri.
Tapi Harry akui dia tadi memang cukup berlebihan. Melukai diri sendiri di zaman perang, apalagi di hadapan ras abadi yang telah hidup ribuan tahun, bukanlah hal menyenangkan untuk dilakukan. Mereka tidak terbiasa bahkan tidak mengetahui konsep menyakiti diri sendiri. Luka adalah hal yang krusial bagi orang-orang Middle Earth.
Haldir kemudian tersenyum. "Mari, kita kembali ke dalam."
Rivendell benar-benar bentuk nyata dari rumah peri yang selalu muncul di buku cerita anak-anak. Terlalu cantik untuk menjadi kenyataan. Harry tidak bisa untuk tidak terpaku tiap kali matanya memandang ke tiap sudut ruang. Alam terbuka seperti ini seharusnya menyimpan banyak hal-hal kecil yang bikin bulu kuduk merinding seperti ulat dan lintah. Tapi selama berjam-jam ia mengamati, Harry tidak pernah menemukan serangga menjijikkan di tempat ini. Seolah taman mereka memang diciptakan untuk ditempati secara nyaman, bukan sekedar memanjakan mata.
Siang hari sama sekali tidak terasa terik di Rivendell. Banyaknya ruang terbuka hijau membuat para penghuninya terlindungi dari terpaan langsung sinar matahari, itu juga membuat udara di sana selalu terasa sejuk. Daun-daun pohon tampak lebih bercahaya, bunga yang mekar di antara tanaman rambat juga menghiasi wilayah peri dengan nilai estetika tinggi. Tidak ada sampah, tidak ada limbah plastik seperti yang selalu terjadi di tempat asal Harry. Dia menolak percaya jika ini bukan surga dalam bumi.
Siang ini dia berhasil kabur dari pengawasan para Ranger yang bertingkah seperti induk ayam. Sungguh konyol, bahkan di tempat seaman ini saja mereka masih mengkhawatirkan kesejahteraan Harry. Dia hanya punya waktu sedikit sebelum makan siang dimulai, jadi ia ingin memanfaatkannya sebaik mungkin. Beberapa Elf yang berpapasan dengannya akan tersenyum singkat sebelum kembali melanjuti urusan mereka, dan tidak sedikit juga yang mengabaikan Harry atau menatapnya penuh selidik secara terang-terangan.
Setahunya, Rivendell memang ramah terhadap pengunjung, namun bukan berarti semua penghuni mereka senang dengan kehadiran orang asing. Apalagi orang asing ini adalah penyihir aneh dari dunia lain. Tidak butuh waktu lama agar rumor tentang dirinya tersebar. Tidak sampai 24 jam, hampir semua orang di sana sudah tahu siapa Harry. Mungkin perhatian yang diberikan oleh para penguasa seperti Lord Elrond dan Lady Galadriel telah menarik minat mereka.
Saat berbelok di tikungan, Harry nyaris saja menabrak dada seseorang. Mereka benar-benar akan bertabrakan andai kata dia tidak memiliki refleks yang cepat, meskipun, indranya melemah karena Harry tanpa sadar telah menuruni kewaspadaannya semenjak tiba di Rivendell. Dia harus membuat catatan tentang ini, bagaimana pun dia tidak boleh lengah seaman apapun keadaan mereka.
Kepalanya mendongak. "Elrohir?"
"Elladan," ralat peri itu. "Selamat pagi Harry. Hari yang indah untuk melakukan banyak aktivitas. Tapi kenapa kau mengendap-endap?"
Semoga pipinya tidak memerah sekarang, itu akan sangat memalukan. Tapi lebih dari apapun, Harry berharap bahwa Elf di hadapannya tidak sedang berpikir jika dia telah merencanakan sesuatu yang buruk. Dia tidak ingin merusak citranya sebagai pendatang di wilayah ras yang terkenal sangat waspada, oke?
"Selamat pagi Elladan. Maaf, aku hanya sedang menghindari Aragorn dan Halbarad."
Elladan pun tertawa mendengarnya. Pelan, anggun, seperti melodi. Semua yang diucapkan Elf pada dasarnya terdengar seperti melodi. "Induk ayam?"
"Benar. Mereka terkadang bisa menjadi sangat... khawatir."
Bukan berarti Harry membencinya, tidak. Tapi diawasi sepanjang waktu membuatnya merasa kembali menjadi murid sekolah berusia 12 tahun. Alphard pernah melakukan hal yang sama dulu, jauh lebih parah dari perhatian yang diberi kedua Ranger. Namun saat itu mereka sedang menghadapi teror, Harry bisa memahaminya. Sedangkan kedua Ranger tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk selalu mengintili Harry seperti bodyguards, terutama di Rivendell. Mereka aman, mereka sejahtera di sini.
Elf di depannya tampak memahami apa yang dia rasakan. Elladan tersenyum, lalu mereka mulai berjalan beriringan tanpa arah dan tujuan. Hanya mengikuti jalan setapak, Harry percaya setidaknya peri itu dapat menuntun mereka keluar dengan mudah, tidak akan ada kata tersesat kali ini.
"Aragorn mungkin melihat dirinya padamu."
"Hm?"
Putra penguasa Elf itu menoleh, sedikit menunduk untuk melihat langsung di mata hijaunya. Ada setitik kesedihan jika kau memperhatikan lebih detail, kesedihan mendalam yang membuat sesuatu dalam dada Harry berdenyut. "Kedua orang tuanya meninggal saat dia masih kecil. Estel kemudian diasuh oleh ayahku di sini, di lmladris. Sendirian di tempat asing, satu-satunya manusia di antara Elves, selalu menjadi yang paling berbeda meskipun kami memperlakukannya dengan sama."
Mereka kemudian melewati area pancuran air tempat di mana beberapa Ellon dan Elleth tampak sedang mencuci pakaian mereka. Laki-laki dan perempuan, tidak ada pembeda antara peran gender di sini, Harry tanpa sadar senang melihatnya. Pancuran air itu juga sangat cantik, menumpuk banyak bebatuan yang membuatnya hampir seperti air terjun versi mini. Patung-patung berderet di pinggir, beberapa tampil seperti sosok Elf yang tengah menuang air dari kendi.
Saat melihat mereka lewat, semua Elf kompak tersenyum dan memberikan salam. Jelas bukan semata-mata untuk Harry, lebih karena keberadaan Elladan yang sangat dihormati sebagai putra Elrond, penguasa wilayah yang menjadi tempat bernaung banyak orang. Namun dia tetap membalas sapaan tersebut, akan sangat tidak sopan bila dia mengabaikannya.
"Halbarad adalah sosok yang sangat mengayomi. Dia memperlakukan Estel dengan cara yang sama saat pertama kali bertemu dengannya, meskipun mereka hanya terpaut 10 tahun," Elladan melanjuti. "Melihatmu yang datang ke dunia kami seorang diri, tanpa persiapan dan tanpa pengetahuan. Kurasa itu menjadi pemicu bagi mereka untuk menaruh banyak perhatian kepadamu. Belum termasuk fisikmu yang muda, meskipun usiamu dua atau tiga kali lipat mereka."
"Yah kurasa itu— tunggu." Harry sontak berbalik, perputaran lehernya sangat cepat hingga nyaris mengkhawatirkan. "Kau tahu usiaku? Tapi kau tidak ikut pertemuan kemarin..."
Elladan mengerjap. Dia tidak tampak malu, tidak. Malah sebaliknya, Ellon itu tersenyum hampir menyeringai saat dia berbalik menatap jalan. Ada gelak tawa yang membuat kedua pundaknya bergetar. Wah, sepertinya ada seseorang (atau mungkin dua orang) yang ketahuan mendengar pembicaraan rapat tanpa izin.
Harry melipat lengan di depan dada, berhenti melangkah hanya untuk menatap si peri dengan alis tinggi. "Kau menguping." Itu bukan tuduhan, melainkan fakta.
"Tidak, tidak juga. Ada hanya berkata kami tidak perlu masuk, dia tidak mengatakan bahwa kami tidak perlu mendengar."
Jenius, tapi licik.
Harry bisa membayangi ke asrama mana peri itu akan masuk andai saja mereka berada di Hogwarts. Slytherin terlihat sangat cocok untuknya. Dia tertawa tanpa sadar. Itu membawa kembali kenangan akan kakak keduanya, Regulus, yang sangat pandai memanipulasi keadaan. Tapi sejujurnya, beberapa Gryffindor yang dia kenal juga kerap melakukan hal serupa. Sirius tentu saja tidak berbeda jauh dengan saudaranya, dia adalah bentuk nyata dari kejahilan dan kejeniusan yang digabung menjadi satu, sementara Reggy lebih seperti kejeniusan akan kebutuhan.
"Terkadang aku lupa bahwa kalian memiliki pendengaran yang tajam." Lagi pula, dia baru beberapa hari bertemu Elf. "Kurasa aku lebih bisa memahami teman-teman Ranger-ku sekarang. Terima kasih Elladan."
Peri di sampingnya tidak membalas, namun tersenyum penuh kehangatan. Harry bisa melihat senyum yang sama yang dimiliki oleh ayah mereka saat pertama kali menyambut kehadirannya. Jika boleh jujur, sebagian besar Elf memang memiliki wajah yang nyaris serupa satu sama lain, maka akan sangat mudah untuk menentukan siapa kerabat terdekat mereka. Elrond jelas menuruni banyak hal pada si kembar. Dia tidak bisa mengatakan hal yang sama tentang Ratu Imladris (apakah dia disebut ratu?) karena belum pernah melihat keberadaannya. Namun, Arwen memang mendapati kecantikan dari Lady Galadriel yang merupakan neneknya sendiri.
Saat berada di penghujung jalan, mereka bertemu dengan Elrohir yang juga sedang berjalan beriringan dengan Glorfindel. Sial, Harry membatin dalam hati. Dia tidak mengatakannya pada Elladan tadi, tapi dia juga menghindari peri pirang satu itu, yang entah kenapa seperti memiliki obsesi untuk selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi! Yang ini bahkan terasa lebih menguras energi karena Harry pada dasarnya tidak mengenal Glorfindel, tidak seperti ia kepada para Ranger. Dia juga merasa cukup terintimidasi setiap kali Glorfindel menatapnya dari ekor mata.
Sungguh, jika dia berpikir dia melakukannya dengan halus, maka dia salah besar!
"Ini dia, Harry!" Elrohir menyapa mereka pertama kali, bersemangat seperti biasa. "Aragorn dan Halbarad tadi mencarimu. Glorfindel juga berkata dia tidak mendapatimu di kamar."
Lihat? Si pirang itu benar-benar hendak mengawasinya sepanjang waktu.
"Maaf, aku hanya ingin berjalan-jalan dan mempelajari Rivendell lebih jauh." Tentu saja tidak sepenuhnya bohong. Harry memang akan mengelilingi wilayah ini dalam waktu singkat andai saja dia tidak mendapati beban tambahan lain berupa dua pria overprotective dan seorang peri pirang yang obsesif. "Lalu Elladan berhasil menangkapku barusan."
"Ya, menangkap," ulang temannya dengan lebih jenaka. "Ngomong-ngomong, kau perlu berkonsultasi dengan ayahku untuk tahu apa yang bisa kau kerjakan di sini."
"Benar, apa aku perlu menemuinya sekarang?"
"Mungkin setelah makan siang." Mereka pun kembali melanjuti perjalanan menuju aula api di mana kedua Rangers telah menunggu Harry sambil berkacak pinggang.
Begitulah cara Harry tiba di ruangan Elrond beberapa jam setelahnya. Tapi tunggu, dia tidak sendiri. Rupanya, sang penguasa Elf memiliki sosok lain dalam ruangan tersebut. Glorfindel dan Gandalf. Seperti biasa, si Elf pirang selalu menatapnya dengan cara yang tidak bisa Harry pahami. Benar-benar tidak terbaca, kontras dengan Gandalf yang berbinar penuh kebahagiaan.
Elrond mempersilahkannya untuk duduk di bangku yang tersisa, tepat di sebelah Glorfindel. Bahkan dari jarak sedekat ini, peri di sebelahnya sama sekali tidak menutupi bagaimana dia melirik Harry dari samping. Itu menimbulkan pertanyaan sekaligus rasa gelisah setiap kali terjadi. Tidak bisa kah dia berbicara saja? Atau memang beginilah cara Elf bersikap, sok misterius dan penuh penilaian?
"Kami sudah mendiskusikannya sebelum kau tiba, jadi aku akan berterus terang sekarang," Elrond memulai. "Harry, untuk tinggal di Rivendell dalam jangka waktu yang tak ditentukan, aku rasa kau perlu berbaur dengan yang lain. Sayangnya, hanya sebagian kecil dari kami yang memahami Westron. Maka kau perlu mempelajari Sindarin untuk mencapai tujuan tersebut."
Dapat dipahami. Di dunia lamanya, Harry juga mempelajari banyak bahasa karena tuntutan politik. Tidak semua penyihir hebat dari berbagai negara memiliki sifat terbuka, malah, sebagian besar dari mereka sangat sulit untuk diajak kerjasama. Sebagai pewaris keluarga, sudah sepatutnya ia diajari tentang tata cara mengambil hati seseorang, salah satunya adalah dengan mempelajari bahasa mereka.
Memang tidak berdampak banyak, namun efeknya tetap terasa. Harry menjalin hubungan yang baik dengan pejabat kementerian Prancis, China, Rusia, dan Jepang berkat hal tersebut. Rusia adalah yang paling sulit dihadapi, namun sesaat setelah mereka tahu Harry mampu dengan fasih berbicara dalam bahasanya, komunikasi berjalan jauh lebih mudah. Prancis sendiri merupakan negara kelahiran Rosier, jadi meskipun keluarga inti Rosier berpindah ke Inggris, mereka tetap menerapkan pendidikan dua bahasa kepada setiap anak yang lahir. China dan Jepang dilakukan karena banyaknya project kerjasama yang negara buat.
Elrond lalu tersenyum. "Kebetulan sekali Glorfindel adalah guru yang hebat. Dia bisa mengajarimu Sindarin dan sebagai gantinya, kau dapat menjadi asistennya untuk sementara waktu."
Oh oke itu tidak seburuk—
APA?!
Alphard pasti tidak akan senang melihat ekspresinya saat ini. Tapi Harry tidak peduli, apa mereka benar-benar menyatukannya dengan orang yang terang-terangan menguntitmu setiap saat? Atau memang itulah tujuan mereka, agar Harry bisa diawasi setiap saat tanpa Glorfindel perlu repot-repot mengikutinya ke mana pun?
Harry mulai memikirkan kembali semua penilaiannya terhadap Elf. Mereka tidak seramah yang dia kira, karena mereka melakukan semua hal tidak tanpa alasan. Sifat parno berlebih yang bahkan membuat seorang psikolog angkat tangan. Tapi sesungguhnya, bisa kah Harry menyalahkan mereka? Dengan semua omong kosong pangeran kegelapan ini... yah, mungkin bisa dimengerti. Satu-satunya hal yang ingin dia keluhkan hanyalah...
Kenapa harus Elf yang itu?!
Kenapa tidak salah satu dari anak kembarnya, atau keduanya juga tidak masalah. Harry merasa jauh lebih nyaman berada di dekat mereka. Si kembar sangat terbuka terhadapnya, mengikatkan Harry akan Sirius dan Regulus dalam dinamika persaudaraan yang lebih erat dan sehat. Mereka juga humoris, berbeda sekali dengan si pirang kaku satu ini.
"Apakah kau keberatan Harry?"
Seolah ditarik kembali ke dalam realita, dia pun mau tidak mau mengangguk. Hampir tidak ikhlas, yang ternyata diperhatikan oleh Gandalf. Merlin, terberkatilah penyihir itu karena menyimpan opininya dalam diam. Dia mungkin saja bisa membaca pikiran, tetapi si kakek tua tahu lebih baik untuk tidak mengganggu Harry. Gandalf hanya tersenyum geli, tampak menikmati semua kekacauan ini.
"Ya, tentu, tidak masalah. Suatu kehormatan bagiku untuk menerima ilmu yang sangat bermanfaat. Terima kasih, Tuan." Wah, dia benar-benar ahli dalam bermuka dua, bukan? Reggy pasti bangga. "Tapi boleh kah aku tahu apa yang harus kulakukan sebagai seorang asisten?"
"Ah, kau bisa tanyakan langsung pada Glorfindel tentang itu."
Keduanya pun berpandangan. Rupanya, para Elf memiliki sedikit variasi dalam warna mata mereka, setidaknya tidak sebanyak manusia di dunia Harry. Sejauh ini, ia hanya pernah melihat warna biru, biru keperakan, perak, dan coklat dalam berbagai tingkat kecerahan yang berbeda, dan Glorfindel memiliki perpaduan antara emerald dan silver. Mungkin itulah kenapa para Ranger berkali-kali memuji matanya, bahkan si kembar dan Arwen mengaku terpana oleh warna mata Harry saat pertama kali melihat.
"Kita bicarakan besok setelah sarapan," ujar Glorfindel, mengunci pandangan Harry beberapa saat sebelum kembali pada Elrond.
"Ngomong-ngomong, apa kau memiliki kemampuan khusus di luar sihirmu, Nak?" Gandalf bertanya. "Sesuatu yang mungkin berguna di sini."
"Ah, aku cukup pandai memasak. Aragorn dan Halbarad sangat menyukai masakanku. Meski aku tidak tahu apa-apa tentang masakan atau selera Elf, tapi aku yakin bisa mengelola semua bahan makanan dengan baik." Dia juga bisa memperkenalkan karya manusia Bumi kepada mereka. Harry selalu senang melihat reaksi orang lain saat memakan masakannya.
Nah, mereka berkedip penuh ketertarikan sekarang. Tentu saja semua kecuali peri pirang di sebelahnya.
Elrond pun berkata, "Mungkin kau bisa membantu staff di dapur. Lindir bisa memperkenalkanmu pada salah satu juru masak kami, Maeron. Dia sangat teliti tentang makanan namun terbuka terhadap semua jenis masakan."
Akhirnya kesepakatan terbuat. Mulai besok, setelah sarapan hingga dua jam sebelum makan siang ia akan mengikuti Glorfindel sebagai asisten barunya (entah apa yang Harry kerjakan nanti, dia harap bukan sesuatu yang merepotkan). Setelah itu dia akan pergi ke dapur dan membantu staff di sana. Mungkin dia tidak akan langsung diberi kepercayaan untuk masak, namun Harry tidak masalah. Selepas makan siang, dia mulai mengikuti kelas bahasa Sindarin sembari kembali menjadi asisten Glorfindel (sungguh, memangnya orang itu perlu asisten untuk apa?). Dia juga harus kembali lagi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Huh, tampaknya besok akan menjadi hari yang baru bagi Harry.
< OMAKE >
Erestor: Aku tidak ingat gazebo kita memiliki bunga (menatap bingung)
Elrohir: Kau benar. Bagaimana bisa mawar sebanyak ini tumbuh di sini?
Elladan: Durinya sangat tajam...
Glorfindel: (terdiam)
Glorfindel: (bergumam) Aroma ini tidak asing...
...
Halbarad: Putri kecil ayah, ayo kita pergi jalan-jalan pagi! (mengetok pintu kamar Harry)
krik krik
Halbarad: Putriku?
krik krik
Aragorn: Mungkin dia tidak ingin dipanggil putri.
Halbarad: (menghela napas) Baiklah, putraku yang tampan, ayo kita jalan-jalan!
krik krik
Halbarad: Anakku?
Aragorn: (merasa tidak enak, akhirnya membuka pintu) Harry?
Halbarad & Aragorn: Anak kita menghilang!!
...
Elrond: Kita butuh seseorang yang bisa mengajarinya Sindarin. Erestor mungkin—
Glorfindel: Biar aku saja.
Gandalf: (terkejut) Kau serius ingin melakukannya?
Elrond: (terkejut juga)
Glorfindel: Hm. Tapi aku butuh asisten pribadi.
Elrond: (memasang wajah paling tidak berkesan)
Gandalf: (menatapnya ngeri)
Glorfindel: (diam-diam menyeringai)
Elrond & Gandalf: Bersikaplah lembut padanya...
Notes:
Elvish Phrases:
Adar/Ada = Father/Dad
Arda = Middle Earth
Muindor nin = My brother
Imladris = Rivendell
Istar (plural: Istari) = Wizard
Mithrandir = Gandalf's nickname by the Elves
Estel = Aragorn's name by the Elves
Elleth = Elf-maid/Elf-woman
Ellon = Elf-man
Chapter Text
Pengkhianatan Bellatrix merupakan satu dari sedikitnya hal yang benar-benar bisa mengejutkan Harry. Itu adalah sesuatu yang tak terduga bahkan tak pernah teramalkan. Tidak ada catatan yang menyebutkan pembelotan keluarga dalam jurnal ramalan milik mendiang Hesper, nenek buyutnya sekaligus satu-satunya seer terakhir yang Black miliki.
Rangkaian kejadiannya terlalu cepat, hampir membuat semua orang tidak sanggup menghadapi kenyataan. Harry mengingat bagaimana terpukulnya Sirius setelah mengetahui fakta tersebut. Dia sangat dekat dengan Bellatrix sejak kecil, bahkan dia menemui lebih banyak persamaan dalam diri sepupu perempuan mereka ketimbang dengan adik kandungnya sendiri. Belum termasuk keterdiaman Narcissa dalam hal ini, terlalu malu hingga mengisolasi diri dari keluarga inti. Andromeda sendiri sudah pasrah, tampaknya dia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh semua orang. Bagaimana pun, dia memang tidak pernah menjadi kesukaan kakak perempuannya.
Tapi lebih dari itu, Harry paling merasa iba pada Pamannya, Orion. Sebagai kepala keluarga Black, tentu saja dialah yang paling berdampak dalam pengkhianatan Bellatrix. Pamannya yang selalu tenang, rapi, dan tampak sempurna dalam segala hal berubah menjadi seseorang yang hampir tak Harry kenal. Kantung matanya nyaris segelap milik orang-orang yang masuk Azkaban. Bibi Walburga saja tidak bisa menghentikannya dari mengonsumsi alkohol secara berlebih.
Ayahnya selalu berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Alphard tidak pernah mau Harry merasa takut atau terancam, dia selalu memastikan yang terbaik untuk anak semata wayangnya, seseorang yang bahkan tidak memiliki hubungan darah. Dia lebih baik mati daripada membiarkan semua itu terjadi. Tapi Harry telah mengenal pria itu cukup lama untuk mengetahui kapan dia berbohong. Dia tahu dengan pasti bahwa semua tidak baik-baik saja.
Pengkhianatan yang Bellatrix lakukan kepada mereka sama sekali bukan sesuatu yang bisa dengan mudah diatasi. Jika memang begitu, mereka tidak akan terjebak dalam rasa takut yang berkepanjang. Tidak akan kesulitan tidur hanya karena terlalu waspada dengan apa yang mungkin datang di malam hari. Tidak akan ada berita yang dipenuhi kecaman terhadap keluarga Black. ICW dan Kementerian Sihir Inggris tidak akan pernah mengirimkan mereka surat peringatan. Para Auror juga tidak akan menerima perintah nasional untuk membunuh Bellatrix di tempat.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Teror yang sepupunya beri kepada dunia semakin parah. Harry tidak pernah bisa melupakan saat-saat di mana ia dikucilkan oleh seluruh Hogwarts, menerima hinaan secara terang-terangan mengenai salah satu anggota keluarganya. Dia tidak pernah merasa buruk untuk menjadi singa, tidak sampai semua masalah ini terjadi.
Lalu, hari itu pun tiba...
Hari di mana mereka menatap mayat Paman Cygnus dan Bibi Druella tergeletak di halaman depan Black Manor...
Tergeletak penuh darah yang mengubah sebagian besar warna rumput di sana. Harry mengingat jeritan Bibi Lucretia sebagai yang pertama kali melihatnya. Dia juga mengingat ekspresi horror yang tak pernah lepas dari wajah kedua saudaranya dan sepupu Andromeda, atau kebisuan Narcissa dan Bibi Walburga. Hantaman kenyataan oleh Alphard, kesakitan yang diderita Nenek Melania dan Bibi Dorea, jeritan Nenek Irma, penyesalan Kakek Arcturus, kekecewaan Bibi Cassiopeia, maupun kemarahan Paman Orion dan Kakek Pollux.
Sayangnya, mereka semua tidak pernah tahu bahwa hari itu akan menjadi awal mula dari kehancuran seluruh keluarga Black.
Glorfindel membawa Harry pergi tepat setelah sarapan. Dia juga berhasil meyakinkan Aragorn dan Halbarad untuk tidak perlu khawatir, kedua induk ayam itu tampaknya mulai menjadi ancaman. Harry hanya pasrah ketika peri besar di depannya membawa mereka menuju tempat yang sama sekali tak ia kenali. Jalannya tidak seperti yang pernah dia lewati, jalan ini cenderung lebih jauh dan lebih jarang dilewati oleh sebagian besar penduduk. Dia memang melihat beberapa Ellon berlalu lalang di sekitar mereka, namun hampir tak ada Elleth.
Harry kemudian menemui lapangan luas tempat di mana beberapa Elf berlatih dengan pedang. Lebih jauh ke depan, ada sekelompok pemanah yang berjajar rapi dalam area panah. Harry memperhatikan semua orang dengan kagum. Sedikitnya ini membawa kembali kenangan masa lalu, di mana dunia sihir telah terekspos dan keterampilan para Muggle mulai mengkhawatirkan. Dia pernah belajar bela diri di Jepang, tapi itu tidak seketat pelatihan yang dilakukan Auror. Hanya cukup untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan kelincahan dalam menghadapi konflik jangka panjang.
Tapi mereka tidak berhenti di satu lapangan pun, tidak bahkan saat area penempahan senjata terlewati begitu saja. Sesuatu yang membuat dahinya berkerut bingung. Dia tidak sempat bertanya karena Glorfindel telah berjalan cukup jauh di depan. Peri itu memang lebih tinggi dan lebih berotot, tidak heran bila Harry membutuhkan usaha lebih untuk menyamai langkah kakinya.
Lalu mereka pun tiba di hadapan sebuah bangunan berukuran sedang. Tidak terlalu kecil namun juga tidak besar. Bangunan itu termasuk yang paling sederhana bila dibandingkan bangunan lain yang pernah ia lewati di sini. Glorfindel melirik ke belakang untuk sesaat, memastikan penyihir muda itu tak tertinggal atau mungkin kabur. Kemudian, dia mulai membuka pintu kayu secara perlahan.
"Ini ruang penyimpanan senjata."
Harry memperhatikan tiap sudut ruangan tanpa satu inci pun terlewati. Memang ada banyak sekali senjata di sana, dari yang di letakkan di atas meja, terpajang di dinding, maupun tersimpan dalam rak. Ada beberapa batu untuk mengasah pedang, baju besi yang tersusun rapi, dan benda-benda lain yang tak ia ketahui namanya.
"Apa yang akan kita lakukan?"
Glorfindel mengambil salah satu pedang bersarung perak dan memberikannya ke Harry. "Kita akan membersihkan senjata-senjata di sini."
Dia mengambilnya dan merasakan berat pedang itu di tangannya. Harry belum pernah melihat pedang yang seperti ini, ukiran dan bentuknya berbeda dari katana orang Jepang. Yang para Elf miliki jelas lebih cantik, mungkin karena pada dasarnya ini bukanlah ciptaan manusia. "Aku tidak tahu cara membersihkan senjata."
"Aku akan menunjukkan caranya padamu, setelah itu kau dapat melakukannya untuk semua benda di ruangan ini."
Dia bilang... APA?!
Oh, Harry tentu saja langsung melotot mendengar itu. Matanya sontak berputar ke seluruh ruangan, menyadari jumlah senjata di ruangan ini mungkin ada ratusan atau ribuan, dia tidak tahu. Belum termasuk baju besi di sisi lain ruangan. Dia mulai melirik Glorfindel dengan pandangan skeptis, mempertanyakan apakah akal sehat Ellon itu bekerja dengan baik atau dia baru saja terbentur batu meteor.
Tentu saja, tidak ada orang waras yang ingin melakukan semua ini sendirian?!
Glorfindel pasti menyadari keterkejutan yang dia rasa, karena si pirang mendengus dan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kau keberatan?"
Bagaimana Elf ini berubah dari sosok yang menawan menjadi pria menyebalkan, Harry tidak tahu.
"Tidak... hanya saja, apa aku harus mengerjakannya sendiri?"
"Apa kau benar-benar berpikir aku akan mempercayakan semua ini padamu?" Glorfindel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sebentar lagi para pandai besi yang sedang tidak bertugas akan datang. Mereka memiliki pembagian jadwal untuk membersihkan gudang senjata tiap periode. Setelah itu, kita tidak perlu melakukannya lagi untuk satu bulan ke depan. Lagi pula semua yang ada di sini merupakan cadangan."
Setidaknya dia tidak perlu bekerja seorang diri, bagus. Harry mengangguk, lalu mengikuti Glorfindel untuk duduk di salah satu bangku. "Apa semuanya harus selesai dalam satu hari?"
Lagi-lagi, si Elf pirang menatapnya dengan pandangan aneh. "Jika kau ingin mati konyol, maka ya."
Oh, jadi dia hanya perlu melakukannya secara bertahap. Baiklah, bisa dimengerti. Meskipun cara Glorfindel memandangnya barusan sangat menyebalkan. Harry masih bingung bagaimana sifat pria itu dapat berubah dalam waktu beberapa malam saja. Memang, sedari awal peri itu sudah menatapnya curiga. Namun dia sempat bersikap baik saat mengantar dan menjemput Harry dari kamar. Lantas apa yang memotivasinya untuk menjadi sebaliknya?
Bagaimana pun, dia kini harus memperhatikan instruksi Glorfindel tentang cara mengasah, membersihkan, dan menilai kekuatan pedang berdasarkan usia. Dia menunjukkannya dengan sangat jelas, Harry merasa bisa mengikuti semua yang dia ajarkan.
"Apakah ini sudah cukup?"
Setiap kali Harry bertanya begitu, Glorfindel selalu saja menemukan celah-celah kecil yang luput dari perhatiannya. Baiklah, mungkin dia terlalu meremehkan. Membersihkannya memang gampang, tapi ternyata mengasah pedang tidak semudah yang ia kira. Elf memiliki pandangan yang lebih tajam dan berpengalaman, jadi Glorfindel benar-benar memasang wajah kecewa setiap kali Harry menunjukkan hasil pekerjaannya.
"Ulangi sekali lagi, kau membuat bagian bawahnya melengkung."
Dan aku tidak melihat di mana letak kelengkungan itu! Harry menjerit dalam hati.
Saat dia baru berhasil membersihkan tiga pedang dan mengasah satu, sekelompok Elf pria memasuki ruangan. Harry berpikir merekalah kelompok pandai besi yang mendapati jadwal membersihkan gudang senjata bulan ini. Ada 10 orang yang datang, dan dia benci mengakui bahwa mereka semua seperti tiang berjalan. Sayangnya, Glorfindel bahkan lebih tinggi lagi saat ia mulai berdiri dan menyapa mereka satu persatu.
Harry bisa merasakan tatapan semua orang tertuju padanya, namun mereka cukup sopan untuk tidak bertanya dan menunggu penjelasan sang Elf Lord. Dia perhatikan, mereka memiliki wajah seperti usia pertengahan 20 sampai pertengahan 30 (dalam usia manusia, tentu saja). Tetapi rata-rata Elf Rivendell memang berfisik seperti pria atau wanita berusia 30 tahun, paling tua mungkin 40. Dia tidak ingin menebak berapa usia asli mereka, terima kasih.
"Saudara-saudaraku, aku rasa kalian sudah melihatnya beberapa hari ini. Dia Harry dan dia akan membantu di sini sampai pukul 11. Kuharap kalian tidak keberatan untuk memperkenalkan diri," ujar Glorfindel dalam Sindarin.
Harry merasa sedikit lega saat mereka mengurangi intensitas tatapannya. Meskipun masih menilai keberadaan Harry, paling tidak mereka menghargainya dan mulai memperkenalkan diri.
Seorang Elf yang mungkin pemimpin kelompok itu mengangguk singkat padanya, sebelum berkata dalam Westron, "Kau bisa memanggilku Arthion. Di sebelahku Rûdhon, Thalion, Rissien, Almárean, Feredir, Cerediron, Andaer, Îdhron, dan Maldor.
Wah, semua ini terlalu banyak, Harry bergumam lirih. Namun dia tetap tersenyum sopan. "Senang mengenal kalian semua. Aku harap aku tidak terlalu merepotkan karena ini pertama kalinya bagiku melakukan pekerjaan ini."
Elf lain dari kelompok mereka maju lebih dekat. Dia tampak lebih muda dibandingkan rekan-rekannya dengan rambut coklat terang. Rissien, jika Harry tidak salah ingat. "Aku dengar kau dari dunia yang berbeda. Apakah kalian tidak bertempur menggunakan pedang dan busur?"
Itu adalah pertanyaan yang murni diutarakan oleh rasa penasaran, Harry bisa melihatnya. "Kami para penyihir tidak menggunakan pedang. Dan para non-penyihir sudah menggantikan pedang dengan model senjata lain, kami menyebutnya senjata api. Tetapi karena mereka telah lama meninggalkan masa-masa perang, jadi penggunaan senjata diatur dengan ketat oleh hukum tiap wilayah. Sebagian besar wilayah kami tidak mengizinkan penduduknya untuk menyimpan senjata api secara pribadi. Hanya militer— eh, prajurit yang diizinkan untuk menggunakannya secara sah dan diawasi ketat."
Kemudian jawaban Harry diterjemahkan oleh Arthion untuk yang lain, yang dia duga tidak memahami Westron. Lantas mereka pun menatapnya dengan penuh ketertarikan, bahkan Glorfindel (meskipun dia langsung menyembunyikannya setelah Harry melirik). Itu bisa dipahami, mengetahui hal baru tentang cara hidup orang lain selalu memuaskan rasa ingin tahumu. Terutama karena dia datang dari dunia lain namun dengan ras yang sama yang mereka miliki di sini, hanya saja tanpa sihir, dan tak pernah ada manusia yang memiliki sihir.
"Bagaimana dengan busur?" lanjut Rissien. Sejujurnya, dia terlihat seperti anjing jinak yang ekornya meliuk-liuk penuh ketertarikan.
"Mereka sudah lama meninggalkan busur untuk pertempuran. Tetapi mereka tetap menyukainya dan kini menganggap memanah sebagai salah satu olahraga dan hiburan. Para non-penyihir senang membuka ajang perlombaan untuk mencari pemanah terbaik."
"Seperti perburuan?" tanya Arthion.
"Umm tidak juga. Tidak ada makhluk hidup yang diburu. Hanya papan target yang sudah diberi jarak tertentu."
Dia bisa melihat kekecewaan di mata mereka, tetapi juga ada setitik kesadaran di sana. Memang, bila dibandingkan kehidupan Elf sekarang, pemanah di dunia Harry terdengar sangat membosankan. Para Elf terbiasa memanah sambil menunggangi kuda, mengejar musuh dan buruan, atau berada di medan yang curam. Intinya membidik dalam kondisi tersulit dan pada objek bergerak. Namun di satu sisi, mereka teringat bila Harry beberapa kali menekankan bahwa dunianya hidup di masa damai, telah lama meninggalkan omong kosong perang. Jadi semuanya masuk akal.
Rissien tiba-tiba tersenyum padanya, sangat cerah dan riang. "Aku ingin tahu seperti apa senjata api kalian. Tapi kurasa itu bisa untuk lain waktu. Senang mengenalmu, Harry."
Sebelum ia sempat membalas sesuatu, Glorfindel berdehem dengan satu tangan terkepal di depan mulut. Berhasil mengalihkan perhatian mereka semua. Peri itu lalu tersenyum pada rekan-rekannya. "Bisa kah kutitip dia pada kalian? Aku harus pergi, ada beberapa hal yang perlu kukerjakan."
Arthion dengan senang hati mengangguk, dia tidak akan menolak bantuan lain meski datang dari seorang manusia yang tak berpengalaman. Tak masalah, mereka bisa mengajarinya. Dan manusia muda itu tampak cukup sopan bagi standar Elf. Dia pernah mendengar bahwa para Elf di zaman pertama sangat senang membagi pengetahuan pada anak kedua Eru di Númenor, dan dia tidak memiliki banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan manusia meskipun tinggal di Rivendell. Kecuali tentu saja, para Dúnedain.
Setidaknya mereka tidak perlu menghadapi kurcaci dan semua keajaiban mereka. Jadi ya... anak kedua akan jauh lebih baik.
Harry sudah menyelesaikan pekerjaannya di gudang senjata. Semua tanpa sihir, karena ia belum pernah menggunakan sihir untuk mengasah pedang sehingga dia tidak mau mengambil resiko adanya kerusakan. Terutama karena pedang para Elf ditempa dengan cara yang berbeda dari manusia maupun makhluk lain. Ada sebagian sihir di dalam sana yang belum tentu menerima keberadaan sihir lain. Membersihkannya mungkin saja, tapi dia tidak ingin dianggap sombong oleh Elf lain.
Meskipun masih sedikit canggung, namun kelompok Ellon yang membantunya sangat baik. Mereka berbincang dan bertukar cerita, bahkan mengajari Harry nama-nama senjata dalam bahasa Sindarin. Sayangnya, hanya Arthion dan Rissien yang lancar berbahasa Westron, dan mereka berusaha menerjemahkan perkataan Elf lain kepadanya. Meski sebagian besar waktu mereka memang berbicara tanpa melibatkan Harry di sana. Tak masalah, sungguh. Dia pendatang, butuh waktu untuk berbaur.
Tepat pada pukul 11 Harry pun dijemput oleh Lindir, yang kemudian mengantarkannya ke dapur. Harry sering melihat peri ini berkeliaran di sekitar Elrond atau di setiap sisi Rivendell, namun baru kali ini dia berkesempatan untuk mengenalnya secara langsung. Seperti kebanyakan Elf lain, Lindir adalah sosok yang sopan dan formal, namun lebih santai bila kau bandingkan dengan kekakuan Glorfindel. Dia murah senyum, sesuatu yang Harry syukuri karena ia tak kuasa melihat raut cemberut seseorang, seperti Glorfindel. Tidak terlalu menjulang juga sehingga tidak mengintimidasinya, seperti Glorfindel.
"Harry, perkenalkan ini Maeron, kepala dapur kami. Maeron, ini Harry dan dia akan membantu kalian mulai sekarang. Namun bila kau tidak keberatan, suatu saat nanti kau bisa menguji masakannya sendiri."
Maeron, Elf berambut coklat lainnya yang tampak seperti pria di pertengahan 30, tersenyum ramah pada mereka. Ia mengelap tangannya dengan kain sebelum memperhatikan sosok Harry lebih teliti. "Masakan dunia lain? Kedengarannya menarik. Tapi aku harap kau tak keberatan dengan pekerjaan kasar untuk saat ini. Kita bisa meninjau hasil masakanmu lain waktu."
"Ah, tidak masalah. Aku tidak keberatan dengan pekerjaan apapun."
Lindir tersenyum di sebelahnya. "Baiklah kalau begitu kuserahkan dia padamu, Maeron."
Setelah kepergian Lindir, Harry diajak berkeliling dan diperkenalkan kepada staff-staff dapur yang lain. Sekali lagi, tidak ada yang memahami Sindarin kecuali Maeron sendiri. Jadi dia hanya bertukar nama dengan masing-masing dari mereka. Ia juga diajak untuk melihat pekerjaan orang-orang dan cara mengoperasikan perabotan masak maupun menyiapkan perbumbuan dan bahan masak. Lalu, dia pun diberi pilihan.
"Mana pekerjaan yang paling kau kuasai, Harry?"
Dia senang bahwa Maeron memedulikan pilihannya. "Aku bisa bekerja di mana saja kecuali menguliti hewan. Bagian mana yang paling membutuhkan bantuan?"
Ellon itu tampak berpikir sejenak. Melirik ke sekeliling dapur dan memutuskan untuk menanyakannya pada staff-staff lain dalam Sindarin. Salah seorang dari mereka, yang merupakan Elleth berambut pirang mengucapkan sesuatu yang tak Harry pahami. Sepertinya mereka sudah membuat keputusan, dilihat dari Maeron yang mengangguk yakin dan berbalik pada Harry. Wanita di sana juga belum melepaskan pandangannya.
"Kau bisa membantu Taenya menggiling bumbu."
Harry mengikuti arah pandang Maeron ke beberapa keranjang besar yang berisikan tumbuhan berbentuk bulat kecil dan tampak keras. Tunggu, apa mereka harus menggiling semuanya untuk keperluan makan siang hari ini? Itu tidak mungkin, waktu yang mereka miliki tidak akan cukup untuk menggiling benda keras di sana. Terlebih lagi, dia akan membuat pegal tangannya hanya dalam beberapa menit.
"Um, Maeron?" Harry memanggil, menghentikan kepala koki Rivendell sebelum sempat beranjak pergi. "Bisa kah aku menggunakan sihirku untuk melakukannya?"
Ellon itu tampak berpikir sejenak, melihat Harry dari atas ke bawah seolah tengah mempertanyakan kondisi alam semesta. "Kau bisa melakukannya?"
"Ya," Harry membalas ringan. Betapapun ia suka memasak, mempersiapkan bahan masakan sebanyak itu tetap menjadi mimpi buruk semua orang.
"Kalau begitu lakukan saja."
Maka dengan izin itu, Harry melangkah penuh semangat mendekati Elleth yang tidak berhenti memperhatikan mereka sedari tadi. Ia menuntun Harry untuk membawa keranjang-keranjang tersebut ke sudut dapur, tempat di mana alat penggilingan berada (yang hanya berupa batu). Harry tersenyum kepadanya, lalu dengan sopan dan penuh kehati-hatian, ia melambaikan tangan yang membuat biji-bijian di sana melayang ke udara. Taenya melotot dengan lucu, begitu pula Maeron yang diam-diam memperhatikan dari arah belakang.
Satu persatu biji yang melayang itu hancur menjadi serbuk, lalu jatuh ke dalam wadah penyimpanan. Semuanya berlangsung hanya dalam 5 menit (dihitung dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengambil kembali sisa biji dari sudut lain dapur). Taenya masih tercengang, namun Maeron sudah tersenyum penuh kemenangan. Oh Eru, dia belum pernah melihat sihir seperti itu selama ribuan tahun hidup di Arda. Bahkan di tempat yang penuh keajaiban seperti Valinor, tak seorang pun pernah melakukannya.
Saat kesadarannya kembali, Taenya berbicara kepada Maeron dalam bahasa Sindarin yang tak Harry mengerti. Sesaat kemudian, kedua Elf itu kembali menatapnya. Kali ini dengan senyum yang merekah sampai mata.
"Harry, bisa kah kau melakukan itu untuk mengupas wortel dan bawang? Oh, dan kentang juga?"
Ia tersenyum mendengar permintaan tersebut. "Ya, aku bisa."
Begitulah cara Harry menyelesaikan sebagian besar persiapan bahan masakan dalam waktu kurang dari 15 menit. Tanpa sihirnya, para peri terbiasa menyelesaikan semua pekerjaan itu untuk satu jam. Perubahan ini sangat disenangi oleh semua staff dapur, yang terus-terusan terpesona dengan penampilan sihir Harry. Tak pernah terbayangkan oleh siapapun bahwa sihir mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan sepele seperti memasak. Tidak bahkan bagi Elf yang pernah hidup di tanah para Valar.
Setelah hidangan disajikan prasmanan di aula makan, Harry akhirnya bisa kembali kepada teman-temannya yang lain. Halbarad sudah seperti seorang ayah yang menyaksikan hari pertama putranya pulang dari sekolah. Aragorn selalu lebih tenang, meskipun dia tak jauh lebih baik dari Halbarad. Mereka menariknya menuju sebuah meja di mana sudah ada hidangan yang diambil untuknya.
"Bagaimana hari pertamamu bekerja?" Halbarad langsung bertanya. "Kudengar jadwalmu padat."
Bagaimana cara mereka mengetahui jadwalnya, ia tak tahu. "Begitulah. Aku masih harus mengikuti kelas bahasa Sindarin dengan Glorfindel selepas jam makan siang."
"Apa kau mengalami kesulitan?" Aragorn menimpali dengan raut khawatir.
"Mungkin tentang bahasa. Aku tidak bisa berkomunikasi dengan banyak orang karena hanya sedikit dari mereka yang berbicara Westron. Aku harap aku bisa cepat mempelajari Sindarin."
Tiba-tiba saja pundaknya ditepuk dari belakang. Harry menoleh dan mendapati si kembar sudah bergabung dengan mereka. Elrohir tersenyum padanya. "Jangan terburu-buru, temanku. Sindarin lebih sulit dipelajari dibandingkan Westron. Kau punya banyak waktu untuk menguasainya."
Si kembar yang lain mengangguk setuju. "Kami bisa membantumu."
Itu membuat dadanya menghangat. Harry lupa kapan terakhir kali ia merasakan keakraban seperti ini. Dia telah menghabisi banyak waktu sendiri setelah kehilangan orang-orang yang ia cintai. Meski pekerjaan berhasil membuat perhatiannya teralih, namun jauh di dalam sana ia tetap haus akan kasih sayang, kepedulian, pertemanan, dan kekeluargaan. Berada di Arda adalah satu dari banyak hal besar yang mampu ia harapkan dalam mimpi.
Sikunya disenggol, alis Halbarad berkedut saat ia menatapnya. "Kau tahu, sebentar lagi Rivendell akan mengadakan festival."
"Festival?"
Elrohir mengangguk semangat dari seberang meja. "Benar, festival bunga musim semi! Kami menyebutnya Nost-na-Lothion. Sebenarnya acara ini datang dari Gondolin dan selalu dirayakan dengan meriah sebelum..." Ellon itu tiba-tiba saja tampak ragu, suaranya bahkan terdengar seperti bisikan saat ingin menyelesaikan kalimat terakhir. "Kau tahu, kejatuhannya."
"Gondolin?" Harry mengulangi, tidak yakin bisa ia pernah mendengar nama tersebut.
Suara serak terdengar tepat saat Elladan hendak mengucapkan sesuatu, dan Gandalf muncul dari sisi lain meja, mengambil sisa kursi kosong yang masih tersedia di sana. Penyihir tua itu tidak sendirian, ada Lindir yang menemaninya di samping. Harry menyadari bila dia belum berinteraksi banyak dengan Elf itu selain basa-basi pagi tadi.
"Gondolin adalah sebuah kota Elf tersembunyi di Beleriand, kota yang sangat besar dan cantik, dipenuhi banyak bunga bermekaran. Mereka sangat berjaya pada masanya, namun Morgoth datang dan merampas kebahagiaan semua orang," Gandalf menjelaskan. Tersenyum lembut dengan pandangan yang menelisik jauh ke masa lalu. Hembusan napas berat terdengar dari mulutnya.
Lindir kemudian melanjutkan, "Glorfindel berasal dari sana. Dia adalah pejuang yang dengan berani melawan Balrog hingga tetes darah terakhir." Meski tingkah lakunya agak aneh belakangan ini, Lindir tak akan menjatuhkan martabat peri tersebut. Bagaimana pun juga, dia memang seorang pejuang yang berjasa pada bangsa mereka.
Oh, semua informasi ini benar-benar baru bagi Harry. Dia mungkin sedikit membenci peri itu atas perilakunya yang congkak dan semena-mena. Namun mendengar sudut pandang lain dari para Elf, terutama tentang siapa sosok Glorfindel yang sebenarnya bagi mereka, itu seperti membuka lembaran baru dalam buku pengetahuan Harry. Dia memang bisa menebak bila peri tersebut pastilah seorang pejuang, tapi mendengarnya dari orang lain adalah dua hal yang berbeda.
"Dan apa itu Balrog?" ucapnya pelan, mulai penasaran dengan sejarah bangsa Elf.
"Balrog adalah monster kuat yang dipenuhi oleh api dan bayangan, seperti iblis dari neraka terdalam. Morgoth membentuk mereka untuk menjadi pelayannya." Gandalf menunjuk Harry dengan gelas yang terangkat rendah. "Kuharap kau tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk bertemu makhluk seperti itu, kawanku. Middle Earth menyimpan lebih banyak misteri dari apa yang terlihat di permukaan."
Jadi pada dasarnya sama seperti bumi tempat ia berasal, Harry mengangguk mengerti. Meskipun, dunia sihir jelas memiliki bentuk iblis yang berbeda. Iblis itu berwujud manusia yang telah dikuasai oleh nafsu, keserakahan, hasrat tuk berkuasa, dan keinginan untuk menginjak-injak sesamanya. Harry mungkin tidak tahu dan tidak pernah mendengar sesuatu seperti iblis dari neraka. Namun bila ada pun, ia bisa membayangkan pengikut Grindelwald sebagai salah satunya, pion dari pangeran kegelapan itu sendiri.
Lucu bagaimana dunia Harry dan Middle Earth memiliki begitu banyak perbedaan dan persamaan di satu waktu yang sama.
Kemudian suatu kesadaran menghantam pikirannya dengan cepat, bagai kilatan cahaya. "Tunggu, tadi kau bilang dia bertempur hingga tetes darah terakhir? Lalu bagaimana..." pertanyaan itu teredam, oleh keheningan dan senyum semua orang. Seolah satu persatu dari mereka memaklumi apa yang tidak Harry mengerti.
Elladan adalah yang pertama menjawabnya. "Ketika kami berkata bahwa kami abadi, yang dimaksud bukan hanya tidak menua, melainkan kami juga tidak dapat mati secara harfiah."
"Aku khawatir aku tidak mengerti..."
"Kita semua mengenal konsep kematian dan kehidupan. Tapi berbeda dengan manusia dan makhluk lainnya di Arda, ketika seorang peri meninggal... itu tidak dimaksudkan untuk selamanya. Kami para Elf bisa mati secara fisik maupun mental, dan ketika itu terjadi, jiwa kami akan kembali ke Aula Mandos, tempat di mana semua jiwa yang mati berkumpul. Manusia, Kurcaci, dan Hobbit akan dibawa ke suatu tempat yang hanya diketahui oleh Eru. Namun Elf? Tubuh kami disatukan selagi jiwa yang rusak disembuhkan. Yang kemudian pada saat mereka siap, setiap Elf akan kembali pada tanah keabadian Valinor."
"Glorfindel sendiri memiliki kasus spesial. Saat ia dibebaskan dari Aula Mandos, dia dibawa kembali oleh para Valar ke Ennor," lanjut Elrohir.
Itu kah alasan orang-orang menghormatinya? Harry selalu bisa memperhatikan bagaimana para Elf bersikap lebih sopan di hadapan peri pirang tersebut, sesuatu yang dia pikir hanya akan diterima oleh Elrond dan putra-putrinya. Belum termasuk gelar sebagai tuan rumah yang ia miliki, yang pastinya tidak akan berbeda jauh dari apa yang dimiliki dunia Harry sebelumnya. Memang bukan berasal dari keluarga kerajaan, namun dia tetaplah bangsawan terhormat. Sama seperti Rosier dan Black.
Beruntung tidak ada tanda-tanda sosok Glorfindel di sekitar sini. Dia duduk jauh di sudut lain ruangan bersama Lord Elrond, Erestor, Lady Galadriel, dan peri-peri lain yang tak ia kenal. Jika si pirang mendengarnya, Harry bisa membayangkan lobang hidungnya mengembang oleh rasa puas karena menerima begitu banyak pujaan.
Astaga, apa aku mulai bertindak seperti seorang hater?
"Buku ini berisikan huruf-huruf Sindarin beserta terjemahannya di Westron. Sudah ada cukup banyak kata yang tertulis di dalamnya, kau hanya perlu menghapal. Tetapi, untuk menyusun sebuah kalimat dalam Sindarin sangatlah berbeda dengan Westron."
Glorfindel menaruh sebuah buku bersampul kulit di atas meja, tepat di hadapan Harry. Buku itu sangat besar, seperti buku sejarah yang Hogwarts miliki di perpustakaan meski ketebalannya tak sama. Ia menduga hal ini dikarenakan kertas masih menjadi barang berharga yang tak boleh disia-siakan. Mereka memperlakukan buku sama seperti mereka memperlakukan pakaian. Terutama bila buku-buku tersebut berisikan pengetahuan atau kisah yang sangat penting.
Bila mereka sudah memiliki kamus, maka satu-satunya alasan yang bisa Harry pikiri tentang mengapa hanya sedikit Elf yang mengerti Westron adalah karena mereka menganggap bahasa itu tidak cukup penting. Elf dan Men tidak hidup berdampingan, mereka juga tidak bekerja sama dalam transaksi perdagangan. Tentu anak pertama Eru merasa mempelajari bahasa anak kedua termasuk hal yang paling tidak dibutuhkan di dunia.
"Pelajari semua huruf Sindarin. Lalu, mulai hari ini dan seterusnya kau harus menghapal minimal 25 kata baru perhari," Glorfindel berujar. Mata peraknya berkilat saat memandang Harry di seberang. "Itu adalah tugas paling mudah yang bisa kuberikan padamu. Hari ini kita akan fokus pada pengenalan huruf-huruf dan pelafalannya."
Ellon itu pun mulai menunjuk satu persatu huruf yang tertera di buku dan mengucapkannya secara perlahan, untuk memberitahu sang manusia bahwa bahasa mereka memiliki irama di dalamnya. Harry bersyukur bahwa Sindarin ternyata tak serumit Mandarin. Meskipun ia mengakui, bila bahasa para peri termasuk salah satu bahasa paling indah yang pernah telinganya dengar. Begitu merdu dan menenangkan, seolah kau sedang mempelajari bahasa para malaikat.
Harry menolak mengakui bila suara Glorfindel menjadi berkali-kali lipat lebih indah saat berbicara dalam Sindarin.
"Selain menghapal kata, kau juga bisa mempelajari berbagai kalimat ungkapan dari Elf di sekitarmu. Itu akan membantu proses belajar lebih cepat. Sesuatu seperti terima kasih, permintaan tolong, ungkapan maaf, dan salam sapa akan sangat dihargai dari mereka yang baru belajar."
Harry juga menolak mengakui bahwa Glorfindel adalah guru yang sangat hebat.
Umm... mungkin untuk yang satu ini ia tak mungkin bisa berbohong. Sejujurnya, dia sempat berpikir peri pirang itu akan menjadi sama menyebalkannya saat mengajari Harry. Bahkan, dia sudah cukup yakin akan menerima cara pengajaran seperti di abad pertengahan. Setidaknya satu atau beberapa hinaan pasti terselip di dalamnya.
Merlin, maafkan dia karena telah berburuk sangka. Glorfindel justru tampak sangat tenang di kelas bahasa ini. Tidak ada sarkasme, tidak ada lirikan tajam, dan tidak ada penghakiman. Sekali lagi dia menjadi sosok yang benar-benar tak bisa Harry pahami. Fakta bahwa mereka hanya berdua di sudut perpustakaan itu sama sekali tak membantu.
Setelah beberapa waktu berlalu, Glorfindel tiba-tiba saja menyentaknya dengan pernyataan yang mengejutkan.
"Aku dengar dari Haldir, kau bisa menumbuhkan mawar."
Wah, dia benar-benar lupa tentang kejadian malam itu. Ngomong-ngomong, ia belum bertemu lagi dengan peri pengawal dari Lothlórien seharian ini.
"Aku yakin kau sudah mendengar tentang festival bunga musim semi kami, dan aku rasa kau tak keberatan untuk membantu?" lanjutnya sambil menutup buku.
Harry mengerjap beberapa kali. Meski sekilas, dia cukup yakin sempat menangkap perubahan raut pada wajah sang Lord Elf. Ada kelembutan di ekspresinya sekarang. Sesuatu yang memberitahu Harry bila dia tak boleh mengecewakan harapan tersebut, meski hanya berbalut dalam permintaan sederhana. Lagi pula, dia juga yang akan menikmatinya nanti, bukan?
"Akan menjadi suatu kehormatan bagiku bisa membantu acara kalian. Kapan festival itu diadakan?"
"Dalam tiga minggu." Kemudian Glorfindel terdiam, seperti ragu untuk menyampaikan kalimat selanjutnya. Harry akui dia belum pernah melihat peri itu ragu sebelumnya. Lagipula, dia selalu tampak sempurna dan penuh percaya diri. "Bisa kah aku melihatnya?"
"Maaf?"
"Mawar itu. Bisa kah aku melihatnya?"
Ahh...
Harry pun melihat ke sekelilingnya. Mencari-cari di mana ia bisa menemukan sesuatu sebagai perantara. Dia membutuhkan kontak dengan alam untuk menumbuhkan mawar, apapun itu, bahkan bila hanya setangkai ranting atau selembar daun yang jatuh di lantai. Sihir Rosier memang mampu melakukannya tanpa kontak alam, hanya saja itu membutuhkan lonjakan emosi yang kuat, seperti saat mereka terlalu bahagia atau justru terlalu berduka.
Itu dia! Jendela di sudut timur terbuka, dan beberapa dahan pohon tampak menjulang dari sini. Harry pun berdiri, tidak perlu memberikan isyarat kepada yang lain karena Ellon itu sudah mengikutinya sedikit di belakang. Mereka kemudian berdiri di ambang jendela berwarna putih, sinar matahari yang hangat terasa nyaman di kulit.
Harry menjulurkan tangannya ke udara, benar-benar bisa merasakan perhatian Glorfindel dari jarak sedekat ini. Jika dia berusaha lebih keras untuk fokus, maka tak seorang pun akan tahu. Semoga saja tangannya tidak gemetar di bawah tatapan si Elf pirang.
Salah satu dahan pohon itu mendekat padanya, memberikan beberapa ranting yang bergerak bagai tanaman rambat. Mereka menyelinap di sudut-sudut jendela, memanjang hingga masuk sepenuhnya ke dalam ruangan. Glorfindel tanpa sadar menahan napasnya saat mawar pertama mekar di sana. Dan seolah menggodanya lebih jauh lagi, salah satu ranting pohon berhenti tepat beberapa centimeter dari hidungnya, mulai menumbuhkan satu persatu kelopak merah paling indah yang pernah dia lihat.
Begitu pekat, begitu wangi. Begitu cantik hingga rasanya mustahil untuk memalingkan mata.
Harry tidak mengerti. Elf itu terdiam dengan cara yang nyaris tak wajar, mengingat dia belum pernah bereaksi seperti itu selama masa tinggal sang penyihir tinggal di Rivendell. Apa yang membuatnya terpaku begitu lama? Tentunya dia tidak mungkin baru melihat mawar, bukan? Haldir memang terkejut, namun reaksinya lebih seperti kekaguman dan penghargaan. Dia juga tidak mematung bagai pahatan Romawi.
Lalu mengapa Glorfindel...
Tubuhnya tersentak. Menoleh ke samping begitu cepat saat merasakan sentuhan ringan di sikunya. "Kau baik-baik saja?" Harry bertanya, benar-benar mulai khawatir dengan semua ini.
Air wajah di sana seketika berubah. Begitu saja hanya dalam sepersekian detik, tetapi sangat mudah tertangkap oleh siapapun. Glorfindel kini kembali memasang raut tanpa ekspresinya, menegapkan bahu dan ingat untuk menghembuskan napas. Punggungnya berbalik, berjalan menuju meja dan mulai merapikan buku-buku bekas pembelajaran.
"Maaf, kurasa kelas hari ini sudah cukup. Kau bisa kembali sekarang."
Harry termenung.
Tentunya, ada sesuatu yang tak biasa di balik semua ini, dan ia tak tahu apa itu.
< OMAKE >
Rissien: Jadi dia berkata tentang... (menjelaskan omongan peri lain)
Harry: Oh!
Rissien: Lalu Rûdhon berkata tentang bla bla bla...
Harry: Oh!
Rissien: (berbicara dalam Sindarin, menerjemahkan jawaban Harry ke yang lain)
Elves: Oh!
Rissien: Kata mereka bla bla bla...
Harry: Oh!
Arthion: Ini benar-benar merepotkan...
...
Elrohir: Gondolin adalah kota yang indah
Lindir: Benar, Glorfindel berasal dari sana
Gandalf: Ya, kemudian Balrog datang dan membunuhnya...
Elladan: Lalu dia bangkit dan kembali ke Ennor...
Harry: ...
(semuanya terdiam)
Glorfindel dari suatu tempat: (kuping berkedut) seseorang pasti sedang memujaku
...
Glorfindel: (melafalkan huruf-huruf Sindarin)
Harry: (berusaha fokus)
Glorfindel: (menuliskan kalimat dalam Sindarin)
Harry: (berusaha fokus)
Glorfindel: (menjadi guru yang baik)
Harry: (berpikir: dia memang tampan...)
Notes:
Elvish Phrases:
Adar/Ada = Father/Dad
Arda = Bumi secara keseluruhan
Ennor/Endor = Middle Earth
Imladris = Rivendell
Istar (plural: Istari) = Wizard
Elleth = Elf-maid/Elf-woman
Ellon = Elf-man

auroragreengrass on Chapter 2 Sun 18 May 2025 02:00PM UTC
Comment Actions
auroragreengrass on Chapter 3 Thu 29 May 2025 10:30PM UTC
Comment Actions
auroragreengrass on Chapter 4 Sun 08 Jun 2025 11:33PM UTC
Comment Actions
(Previous comment deleted.)
kkeigou on Chapter 4 Sat 05 Jul 2025 08:30AM UTC
Comment Actions
Shuuniside on Chapter 4 Sun 10 Aug 2025 01:20PM UTC
Comment Actions
MedeaBlack on Chapter 5 Sat 05 Jul 2025 09:59AM UTC
Comment Actions
auroragreengrass on Chapter 5 Sat 05 Jul 2025 11:15AM UTC
Comment Actions
kkeigou on Chapter 5 Sat 05 Jul 2025 01:03PM UTC
Last Edited Sat 05 Jul 2025 01:03PM UTC
Comment Actions
AkiMizuki on Chapter 5 Wed 09 Jul 2025 12:12PM UTC
Comment Actions
auroragreengrass on Chapter 6 Tue 22 Jul 2025 08:20AM UTC
Comment Actions
kkeigou on Chapter 6 Thu 24 Jul 2025 04:56AM UTC
Comment Actions
Athanasiaa on Chapter 6 Tue 22 Jul 2025 08:07PM UTC
Comment Actions
kkeigou on Chapter 6 Thu 24 Jul 2025 04:55AM UTC
Comment Actions
auroragreengrass on Chapter 7 Sun 10 Aug 2025 10:15AM UTC
Comment Actions
Shuuniside on Chapter 7 Sun 10 Aug 2025 10:34PM UTC
Comment Actions
mikaail on Chapter 7 Tue 12 Aug 2025 02:45PM UTC
Comment Actions
Moran9_Ashborn on Chapter 7 Sat 16 Aug 2025 03:07AM UTC
Comment Actions
kkeigou on Chapter 7 Sun 17 Aug 2025 09:25AM UTC
Last Edited Sun 17 Aug 2025 09:25AM UTC
Comment Actions
auroragreengrass on Chapter 8 Wed 01 Oct 2025 02:59PM UTC
Comment Actions
Shuuniside on Chapter 8 Wed 01 Oct 2025 03:22PM UTC
Comment Actions
MedeaBlack on Chapter 8 Thu 02 Oct 2025 04:04AM UTC
Comment Actions
Deeetznoets on Chapter 8 Sun 26 Oct 2025 11:30AM UTC
Comment Actions
Hadesss13 on Chapter 8 Tue 04 Nov 2025 03:30PM UTC
Comment Actions