Chapter Text
“Kau –” Angin dingin bertiup melintasi tempat dimana mereka sedang berkumpul, bahkan jaket yang Jihoon kenakan tidak sanggup menepis sapuan lembut yang membekukan tulang. Suara berat yang dilontarkan Baekjin Na bahkan terasa lebih dingin dari angin itu sendiri. “– Masih punya kesempatan, Humin.”
“Kesempatan?” Nada suara yang menggigit, seolah-olah sang pemilik sedang mempertanyakan realitas dunia itu sendiri dan bukannya jawaban dari kalimat yang terlontar sebelumnya. Jihoon bisa mengerti mengingat situasinya, Humin Park yang kebingungan bukanlah hal yang mengejutkan.
“Ini pertarungan dengan hasil yang sudah ditentukan, tapi aku juga mengakui tekadmu itu –” Jihoon tidak tau mengapa tapi setiap jeda dalam kalimat yang diucapkan oleh Baekjin Na membuat seluruh bulu kuduknya berdiri, hawa dingin serta sepoi-sepoi angin di pinggiran sungai tidak membantu meredakannya.
“– Eunjang, Ular Putih dan juga kau, kalian cukup mengesankan. Aku akan memberikan satu tawaran terakhir, aku bisa menaklukkan Eunjang dengan kekuatanku kapan saja. Tapi, aku memberikanmu satu kesempatan lagi,” Lanjutnya seperti orang tua yang memberi peringatan pada anaknya, nada suara seperti itulah yang dikeluarkan Baekjin Na.
“Masuklah ke Aliansi, Humin Park.”
Seluruh orang yang ada di tempat itu tercengang seketika, bertanya-tanya apakah kalimat yang baru saja mereka dengar tadi adalah kenyataan atau sekedar omong kosong belaka. Banyak bisikan dan teriakan terkejut yang samar-samar terdengar seperti ‘Masuk Aliansi!?’ atau ‘Humin Park?!’ dari kedua belah sisi.
Entah itu dari pihak Aliansi ataupun dari pihak Eunjang sendiri, pernyataan yang dibuat oleh Baekjin Na terdengar tidak masuk akal, sangat tidak masuk akal. Jihoon sendiri cukup terkejut dan bertanya-tanya apakah kepala Baekjin Na baik-baik saja atau dia tiba-tiba menjadi gila dalam semalam setelah kontroversi yang cukup sengit dengan pihak Sky Rivers.
“Baekjin Na, bedebah itu..., omong kosong apa lagi itu?” Ucapnya dengan perasaan paling geram, dia merasa terkhianati bahwa seorang Humin Park mendapatkan kesempatan langka yakni tawaran mudah untuk masuk Aliansi dan tidak perlu memohon seperti anjing kampung untuk mendapatkan dukungan dari Baekjin Na.
“Aku pikir kau mau bilang apa..., dasar sinting. Aku nggak pernah berada di bawah seseorang selama hidupku apalagi di bawah bajingan sepertimu. Aku nggak berniat mengikuti permainan derajatmu. Lalu..., Juntae masih belum bangun jadi jangan banyak omong dan majulah bangsat.” Gertakan gigi dari Humin Park bisa terdengar dari tempat Jihoon berdiri saking kerasnya.
Jihoon tidak tau harus merasa lega karena Humin Park menolak mentah-mentah tawaran itu atau harus tersinggung dan marah karena beraninya orang rendahan seperti dia menolak tawaran berharga dari Baekjin Na itu sendiri. Debaran jantung Jihoon semakin kencang seiring berjalannya kontroversi ini, dia bahkan sempat kehilangan alur konflik yang ada di depannya, hanya berhasil menyimak beberapa patah kata.
Satu hal yang dia tahu adalah bahwa pertarungan antara Baekjin Na dengan Humin Park sudah di mulai.
Jihoon bisa melihat gerakan-gerakan cepat yang mereka berdua lakukan, tinjuan dari Humin Park yang ditepis dengan mudah oleh Baekjin Na, gerakan yang sama dengan yang pernah mereka berdua lakukan di masa lalu.
Bedanya kali ini adalah bahwa Humin Park tampak benar-benar mengerahkan segalanya, pukulan beruntun tanpa jeda itu bahkan berhasil membuat Baekjin Na mundur, sial, seorang Baekjin Na. Jihoon tidak bisa menahan perasaan buruk yang aneh di perutnya, dia merasa ingin muntah.
Tapi sepertinya Jihoon mengkhawatirkan hal yang tidak ada karena di detik-detik berikutnya, Baekjin mendapat momentum yang bagus, melancarkan pukulan demi pukulan vital dan bahkan membuat Humin Park berlutut.
Perasaan buruk yang tadi sempat hinggap di perutnya kini mereda, bahu Jihoon yang semula tegak lurus karena tegang mulai melunak perlahan, selama Baekjin Na unggul maka segalanya akan baik-baik saja, karena Baekjin Na harus menang, apapun yang terjadi.
Dan seperti yang selalu diucapkan oleh orang-orang bijak di luar sana bahwa segala hal yang baik sedang terjadi maka hal buruk tidak jauh di belakang, karena setelah itu Humin Park kembali melancarkan serangan dengan sangat agresif, mengulang dan terus mengulang pukulan yang sama seperti sebelumnya, hingga entah bagaimana salah satu pukulan itu berhasil mengenai tangan Baekjin yang sudah terlebih dahulu dalam posisi menyilang untuk bertahan.
Lebih gilanya lagi adalah bahwa pukulan itu bisa membuat orang seperti Baekjin Na terpental mundur beberapa langkah, Baekjin Na dengan berat dan tinggi yang tidak jauh beda dari Humin Park bahkan dari Jihoon sendiri. Sial, sebenarnya seberapa kuat Humin Park yang sekarang?
Tidak, lupakan itu, Jihoon seharusnya tidak memikirkan kemungkinan Humin Park memenangkan pertarungan, Baekjin Na adalah pemenang mutlak, Jihoon hanya harus tetap fokus dan tidak membiarkan pikirannya berkeliaran.
Lalu terdengarlah suara itu, Baekjin Na tertawa. Di situasi seperti ini? Jika Jihoon boleh berpendapat maka saat ini Baekjin mungkin sudah kehilangan kewarasannya atau mungkin dia tidak pernah waras sejak awal, karena sial, jika kau berada tepat dalam tempat Jihoon berdiri saat ini dan mendengarkan Baekjin Na tertawa, Jihoon yakin kau akan lari ketakutan dan tidak berani menoleh ke belakang.
“Baiklah, Humin Park, sepertinya sekarang baru seru.” Baik, sudah pasti bahwa otak Baekjin Na entah bagaimana mengalami kerusakan karena jika adu pukulan di awal yang membuat jantung Jihoon berdetak dengan frekuensi cepat tidak seru menurut standar Baekjin, lalu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya mungkin bisa membuat Jihoon terkena serangan jantung di tempat.
“Seru?” Kerutan di antara kedua mata Humin Park semakin bertambah, memar-memar di wajahnya tampak tidak mempengaruhinya. “Menurutmu situasi ini menarik? Dasar bajingan! Mulai sekarang akan kubuat membosankan, keparat sialan.” Pukulan demi pukulan kembali dilancarkan, pukulan keras dari kanan yang ditahan oleh lengan bawah Baekjin.
“Iya, ya, mulai sekarang bakal membosankan ya.” Pukulan keras dilancarkan oleh Humin Park dengan tangan kiri yang ditepis Baekjin Na dengan cara melangkah ke depan, sedikit membungkuk dan membiarkan bahunya terangkat untuk menepis serangan itu, lalu pukulan dari Baekjin dilancarkan tepat di tenggorokan dimana serangan lanjutannya tepat mengenai perut.
Tapi Humin Park benar-benar pantang menyerah, terus memegang Baekjin meski pukulan beruntun dari Baekjin sudah berkali-kali mengenai titik vitalnya, darah terus mengalir dan menetes ke tanah akibat dari semua serangan itu.
Kemudian seolah tenaganya tak pernah terkuras sama sekali, Humin Park kembali menyerang, pukulan demi pukulan dilancarkan, berbagai serangan yang bisa berakibat fatal dapat Baekjin Na hindari, tapi entah mengapa Jihoon punya perasaan buruk tentang itu, seperti sesuatu yang besar akan segera terjadi dan Jihoon merasa bahwa dia tidak akan pernah siap untuk itu.
Dan seolah semesta ingin membuktikan pemikirannya benar, Jihoon melihat Baekjin terpojok dan entah bagaimana, serangan Humin Park kini berhasil tepat mengenai Baekjin Na. Wah sialan.
Dan sisanya adalah sejarah.
Jihoon melihat banyak hal yang seharusnya mustahil dilakukan ternyata dapat terjadi tepat di depan matanya.
Baekjin Na yang tak tersentuh itu.
Baekjin Na yang Jihoon diam-diam idolakan.
Baekjin Na yang Jihoon diam-diam takutkan.
Baekjin Na yang tanpa sadar menjadi segalanya yang Jihoon impikan, yang Jihoon kagumi dan yang Jihoon harapkan untuk menjadi.
Humin Park sialan itu entah bagaimana berhasil menyentuh Baekjin, memukulnya dengan brutal dan membuat Baekjin berdarah.
Jihoon membencinya.
Dia ingin maju ke depan dan membunuh Humin Park, dia ingin maju dan melindungi Baekjin.
Tapi itu konyolkan? Yang sedang dibicarakan adalah Baekjin.
Baekjin Na.
Tentu saja Baekjin Na tidak membutuhkan siapapun untuk membantunya, untuk mendukung pertarungannya, karena dia itu Baekjin Na sialan.
Namun entah mengapa Jihoon ingin melakukannya, dia berusaha menahan diri untuk tetap diam di tempat dan melihat, hanya saja keinginan itu seperti membakarnya hidup-hidup.
Seperti ketika sebuah firasat di dalam kepalanya yang mengatakan bahwa dia akan menyesal jika tetap diam di tempat dan tidak melakukan apapun. Tapi Baekjin sudah menyatakan dengan jelas bahwa pertarungan ini hanya tentang dia melawan Humin Park, tidak ada ruang untuk membantah jadi Jihoon seharusnya menjadi Jihoon yang hanya akan mengiyakan segala perintah Baekjin meskipun jauh di lubuk hatinya dia ingin melakukan segala sesuatunya dengan cara yang berbeda.
Tidak, tidak, ini konyol. Jihoon seharusnya tidak memikirkan Baekjin seperti itu, dia seharusnya membenci Baekjin.
Baekjin yang membuatnya terlihat menyedihkan, membuatnya merasa ketakutan dan hidup dalam keadaan tidak tenang.
Jihoon seharusnya ingin membunuhnya seperti bagaimana Humin Park itu bernafsu untuk menumbangkan Baekjin.
Benar. Itulah yang seharusnya dia pikirkan.
Jadi dia terus berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa berada di tempat Humin dan menjadi orang yang menumbangkan Baekjin adalah sesuatu yang sangat dia inginkan.
‘Selama dia maju mati-matian seperti itu, sebenarnya apa yang sudah kulakukan? Walaupun Humin Park kalah dari Baekjin Na, aku tidak bisa tertawa. Dia masih berada di tempat yang tidak bisa kujangkau, apa yang sebenarnya kulakukan selama ini?’
Ya, itu adalah pikiran yang aman, Jihoon seharusnya mampu mengalahkan Humin. Tidak, dia seharusnya sudah mengalahkan Humin bertahun-tahun yang lalu sebelum Baekjin Na memutuskan untuk campur tangan.
Jihoon bisa merasakan bahwa temannya – Jeongyeon menatap ke arahnya. Jihoon tidak tau mengapa tapi dia membencinya. Jeongyeon seharusnya tidak mengkhawatirkan Jihoon, tidak ketika yang sedang bertarung di depan mereka bukanlah Jihoon.
Hanya saja seluruh situasi absurd ini membuat Jihoon berpikir ulang tentang semua yang telah dia lakukan. Andai saja dulu dia tidak menyerang Eunjang dan kalah, apakah mereka masih bertarung seperti ini? Apakah Baekjin –
Tidak. Jangan pikirkan Baekjin, fokus Jihoon, fokus.
Dan kemudian ketika Humin Park dikalahkan, kacungnya yang menyebalkan itu justru maju dan menyerang. Tentu saja itu sia-sia, ini Baekjin Na yang dia serang. Tapi entah mengapa, Jihoon merasa iri dengannya, jika saja dia maju untuk Baekjin –
Tidak, sial. Apa sih yang salah dengannya, berhenti memikirkan Baekjin sialan.
Malam semakin larut dan tampaknya Baekjin juga mulai kehilangan kewarasannya karena entah mengapa dia berteriak dan menantang siapa pun untuk maju melawannya jika mereka tidak terima dengan hasil pertarungan itu.
Yang lebih gilanya lagi adalah bahwa orang yang maju adalah seorang keparat yang memiliki tinggi badan setengah dari Jihoon (atau itulah yang Jihoon asumsikan mengingat orang itu pendek sekali), dengan wajah cantik dan kulit yang mulus, tentu saja. Tentu saja Ular Putih Eunjang sialan itulah yang akan maju dan menantang Baekjin, sialan.
Sialan semuanya, sialan Baekjin dan kekuatannya, sialan Eunjang dan keberanian busuk mereka.
Dan begitu sajalah Baekjin resmi menjadi yang tak terkalahkan.
Atau begitulah yang Jihoon pikirkan hingga takdir merenggutnya.
Satu hal yang banyak orang terutama Jihoon sering lupa tentang Baekjin Na.
Bahwa terlepas dari semua kekuatannya, Baekjin Na pada akhirnya adalah manusia.
Setelah pertarungan itu selesai dan anak-anak Eunjang dibiarkan pergi begitu saja, Jihoon agak marah, dia bahkan tidak segan mengungkapkan kekesalannya itu terutama mengingat pengkhianat tertentu.
“Tidak apa-apa nih, anak-anak Eunjang dibiarkan pergi begitu saja? Harusnya kita buat mereka semua berlutut dulu, sialan. Terutama si Seongje Geum bangsat itu...,” Dan seperti yang diduga, tak ada satupun terutama Baekjin Na yang akan mau mendengar keluhannya, sialan. Membuat orang muak saja.
“... Baekjin Na sialan itu, apa yang dia pikirkan sih sebenarnya?”
Hal yang terjadi setelah itu tampak kabur di benak Jihoon. Perasaan tidak percaya yang merayapinya, disertai dengan serbuan jutaan perasaan lainnya yang membuatnya sesak napas karena tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Baekjin Na mengumumkan bahwa Aliansi dibubarkan.
Sungguh hal yang tidak masuk akal, Aliansi yang baru saja memenangkan perang dengan Eunjang, perang dengan Sky River dan bahkan mengatasi masalah Seungjin Joo dengan sisa-sisa Full Moon itu dibubarkan begitu saja. Jihoon hanya, entahlah, ada perasaan kecewa yang berat di dadanya.
Tak lagi kuat dengan perasaan itu, dia pun memutuskan untuk pergi.
“Dasar, semuanya selalu semau dia, ayo Jeongyeon.”
“Iya.” Jihoon kemudian berjalan ke arah motor merah kesayangannya di tempat dia memarkirkannya terakhir kali, mempercepat langkahnya sehingga Jeongyeon harus berlari kecil untuk tidak ketinggalan di belakang.
Jika waktu bisa diputar kembali, haruskah Jihoon tetap berada di samping, tidak, di belakang Baekjin Na sampai akhir?
Akankah segalanya menjadi berbeda jika Jihoon menolak perintah terakhir Baekjin Na dan memilih tetap disisinya?
Meskipun berpikir begitu, rasanya sudah tidak ada artinya lagi.
Jihoon hanya bisa bersikap seolah segalanya normal, seolah tidak ada satu pun yang berubah.
Tapi itu bohongkan, semuanya berubah, Baekjin Na sialan dan kehadirannya yang membuat Jihoon merasakan perasaan aneh ini. Baekjin Na sialan yang membuat Jihoon tidak tau lagi arah ke depannya bagaimana, apa yang harus dia lakukan setelah ini.
Dan tanpa Baekjin Na di sana, Jihoon merasa seolah-olah dia sedang tenggelam di sebuah laut yang gelap dan dingin, deburan keras ombak membuatnya terombang-ambing tanpa arah. Dia berusaha tidak menunjukkannya tetapi mengingat Jeongyeon yang terus menerus rewel belakangan ini, Jihoon pasti melakukan pekerjaan yang buruk untuk menutupinya.
Ada panggilan yang masuk di teleponnya, telepon yang dia beli dengan menggunakan uang Aliansi, uang Baekjin, tidak, jangan pikirkan itu.
“Ada apa?” Jihoon akhirnya mengangkat panggilan itu setelah membiarkannya berdering agak lama.
“Datanglah ke tempat rapat umum Aliansi pertama kali diadakan, ada yang ingin kubahas.” Dan begitu saja panggilan itu diakhiri, Seokhyeon Kwon sialan. Jihoon sejujurnya tidak ingin datang, tidak ingin mengingat lagi tentang Baekjin, sudah cukup dengan semua kenangan masa lalu yang terus berputar tanpa henti di kepalanya. Sayangnya rasa penasarannya menguasai, jadi dengan itu dia berpamitan pada Jeongyeon dan bergegas menuju tempat itu.
Angin dingin di bulan November membuat Jihoon agak kedinginan, dia berusaha merapatkan jaket yang dia pakai, tetapi mengingat dia menaiki motor untuk sampai ke sini, rasanya angin itu masih menusuk-nusuk badan hingga ke tulang-tulangnya.
Begitu sampai dia tidak langsung bergegas, hanya berjalan santai dan melihat sekeliling.
Rasanya sudah sangat lama, dulu waktu pertama kali kesini dia tidak ingat semua pemandangan ini, mungkin karena dulu waktunya malam hari. Tapi tetap saja, Jihoon merasa sangat aneh dengan semua suasana ini, perasaan bahwa ada sesuatu yang sedang menunggunya melakukan entah apa.
Jihoon tidak mengerti jadi dia mengabaikannya, Jihoon pandai mengabaikan hal-hal merepotkan, baginya urusan membosankan itu hanya akan di atasi bila sudah menjadi masalah besar yang artinya itu akan diurus oleh dirinya sendiri di masa depan. Dirinya di masa ini hanya ingin memperbaiki kebiasaannya menjadi normal kembali.
Tapi kemudian dia melihatnya, rambut ungu, kacamata, dan gaya khas sombongnya yang sok itu, Seongje Geum.
Kenapa sih bajingan itu ada di sini? Pengkhianat sialan tak tau malu.
Jihoon heran kenapa bajingan itu masih berani menampakkan wajahnya di tempat-tempat milik Aliansi. Jadi dengan berbekal emosi semata, dorongan impulsif untuk memulai kembali kehidupan yang normal seolah-olah tak terjadi apa pun menang, meskipun tau bahwa dia akan kalah, Jihoon tak pernah gentar. Baginya bertarung dengan Seongje akan mengembalikan segalanya menjadi kondisi yang bisa ditanggung dan dikenali Jihoon.
Jadi dengan itu dia mendekatinya, berbicara dengannya, memprovokasinya, hanya untuk menyadari bahwa itu tidak berguna. Bahwa Seokhyeon menyuruh mereka datang untuk membangun kembali Aliansi, seolah-olah tanpa Baekjin Na, Aliansi akan berdiri kembali dan menjadi sama seperti sebelumnya.
Jihoon ingin tertawa, Jihoon ingin berteriak, Jihoon ingin menangis, dan Jihoon –
Dan Jihoon tidak tau harus melakukan apa, dia hanya menatap tas berisi uang itu dan terus bergumam tentang Baekjin Na, mengumpatinya, mengaguminya, memujinya. Tapi sekarang itu tidak penting lagi kan? Baekjin sudah pergi ke tempat yang tak bisa Jihoon jangkau.
Atau dalam pikirannya yang gila sesaat mengatakan bahwa dia bisa menjangkaunya, hanya perlu satu tindakan, tapi tidak, tidak, dia tidak boleh melakukan itu.
Dia tidak terlalu mengenal Baekjin, dia bahkan hanya mengenalnya karena terpaksa, karena Jeongyeon. Dia tidak seharusnya merasa seperti ini tentang Baekjin.
Tapi tetap saja, Jihoon tidak bisa melupakannya. Perasaan untuk berdiri bersama Baekjin, untuk terus melihatnya dan mungkin –
Mungkin saja suatu hari nanti, Baekjin akan menundukkan matanya ke bawah dan menatap mata Jihoon, bukan tatapan yang dilayangkan Baekjin selama ini, tetapi tatapan yang berbeda.
Jihoon merasa bahwa ia mulai memasuki wilayah yang berbahaya, dia harus berhenti sebelum terperosok lebih jauh, untungnya sebuah pesan yang masuk dari Jeongyeon mampu mengalihkan pikirannya.
Jadi dengan itu, Jihoon bergegas pergi sembari menenteng tas berisi uang Aliansi. Berencana untuk bersantai sebentar di rumah sebelum akhirnya harus pergi bersama Jeongyeon nanti malam.
Rupanya datang bersama Jeongyeon ke festival ini memiliki manfaat tersendiri untuk Jihoon, meski tentu saja jika disuruh memilih dia tanpa ragu akan menolak ajakan itu dan lebih suka menghabiskan waktu di rumah untuk bersantai tanpa melakukan apapun. Angin musim gugur berhembus pelan namun hawa dinginnya dapat menggetarkan tulang, Jihoon sangat bersyukur telah memilih jaket paling tebal dengan lapisan bulu di bagian tepi yang ada di lemarinya, Jeongyeon di sisi lain tampak tak terganggu sama sekali. Terlena oleh banyaknya stand permainan di sekitar.
“Bersemangatlah, Jihoon, ayo naik beberapa wahana!” Ucap Jeongyeon sambil menarik-narik lengan Jihoon untuk naik ke sebuah wahana yang tampak mematikan.
“Ayo! Jangan bilang kau takut?” Wah sial, Jeongyeon tahu persis di mana titik sakitnya agar Jihoon mau menuruti perilakunya.
“Jangan sembarangan bicara bangsat, mana mungkin aku takut! Ayo, ayo, hal remeh seperti ini tidak berarti apa-apa buatku!” Atau begitulah yang Jihoon katakan dengan penuh percaya diri sebelum akhirnya begitu wahana selesai, dia merasa ingin muntah.
Jeongyeon di sisi lain puas tertawa terbahak-bahak, sungguh teman sejati, batin Jihoon.
“Sialan! Aku mau cari toilet dulu!” Ucap Jihoon sembari mencoba berlari ke sembarangan arah sambil berharap bahwa yang dia tuju merupakan arah yang benar.
“Hei! Jangan lama-lama, masih banyak yang harus kita coba!” Suara Jeongyeon terdengar samar-samar di antara banyaknya kerumunan orang.
“Terserah!” Balas Jihoon, masih dengan berlari namun kini langkahnya agak terhambat karena beberapa kali harus menghindari kerumunan atau dia berpotensi untuk menabrak mereka.
Menemukan toilet tampak seperti keajaiban mengingat Jihoon berlari membabi buta tanpa arah, tapi kemudian tampaknya sang keberuntungan berada di pihaknya karena saat dia berbelok ke arah kiri menuju jalan yang lebih sepi, di sanalah dia melihatnya.
Toilet itu tampak kumuh di samping sebuah tenda berwarna merah maroon dengan pencahayaan yang remang-remang, tapi persetan dengan itu. Jihoon lebih memilih di sana daripada harus muntah di depan umum, harga dirinya menolak dengan tegas.
Jadi begitulah ia berlari kesetanan untuk menyelesaikan urusan pribadinya dan keluar dengan perasaan lega luar biasa.
“Mau coba bacaan tarot?” Bisikan keras terdengar dari arah kiri Jihoon membuatnya kaget bukan kepalang.
“Sialan!” Sembari menoleh dan bersiap untuk memukul siapapun yang berani mengagetinya, Jihoon kembali dikejutkan oleh penampilan seorang gadis dengan tinggi yang hanya mencapai dadanya, rambut berwarna pirang gelap dan mata merah yang tampak familiar dengan warna kulit putih pucat yang juga familiar, entah mengapa hal-hal itu membuat amarah Jihoon mereda kembali dan menyisakan kebingungan.
“Ayo, ini akan seru, aku jamin,” Gadis itu kemudian dengan berani menarik tangan Jihoon untuk masuk ke sebuah tenda berwarna merah maroon, Jihoon di sisi lain masih tidak bisa melakukan apapun, terlalu terpaku dengan bayangan seseorang yang mirip dengan gadis di depannya.
“Sini, sini, duduk di sini,” Jihoon di arahkan untuk duduk di atas sebuah bantal lembut yang tergeletak di sebuah karpet dengan pola yang rumit.
“Perkenalkan, aku Kira, aku di sini untuk melakukan hal-hal ajaib yang akan mengubah seluruh hidup dan takdirmu.” Suara yang terlalu gembira itu akhirnya menyadarkan Jihoon dari lamunannya.
“Hei bocah! Apa sih yang kau lakukan? Menyeret-nyeret orang sembarangan. Lagipula aku tidak percaya hal-hal sinting seperti ini, aku mau pergi!” Jihoon kemudian bergegas bangkit namun sayangnya lengannya di tahan oleh gadis itu, terjadilah adegan tarik menarik lengan.
Gadis itu – Kira, tampaknya sama gigihnya dengan Jihoon hingga akhirnya Jihoon memutuskan untuk menyerah.
“Nah, begitu lebih baik, ayo ayo, kubacakan tarot takdirmu.” Kira kemudian mengambil sebuah dek dari meja di sebelah kanannya yang penuh dengan benda-benda aneh seperti kalung dengan gigi taring, sebuah bola kristal dan satu kotak penuh gelang dengan hiasan bunga.
“Terserahlah, selesaikan saja dengan cepat dasar gadis gila.” Jihoon kemudian membuat dirinya sendiri nyaman di tempatnya, setidaknya tidak ada ruginya melihat apa yang akan dilakukan gadis itu, pikir Jihoon sembari menghela nafas pasrah.
Jujur saja Jihoon sekarang sudah tidak lagi memperhatikan apa yang sedang dilakukan gadis di depannya, dia hanya mengamati sekeliling sembari mendengarkan gadis itu sedang melakukan gerakan terlatih dengan kartu-kartu yang dia sebut tarot itu, setelah sekian lama akhirnya dia menarik 3 kartu dan mulai membuka satu per satu kartu tersebut.
“Kartu Lovers terbalik, kartu Death dan kartu Wheel of Fortune, wah, wah, bukankah ini sangat menarik.”
“Aku tidak peduli, dasar gila, sekarang sudah selesai kan? Biarkan aku pergi, sialan!” Ujar Jihoon dengan nada setengah berteriak dan bergegas bangkit sebelum bisa ditahan oleh gadis itu.
“Tunggu, tunggu, aku bahkan belum menjelaskan artinya!” Gadis itu segera bangkit menyusul Jihoon sembari menarik sebuah gelang dari meja di sebelah kirinya.
“Sudah kubilang aku tidak peduli! Aku tidak percaya hal-hal seperti ini.” Jihoon berucap sembari berusaha menggapai tirai yang menjadi jalan keluar dari tempat itu.
“Setidaknya bawa ini, aku tidak tau apa yang akan kau alami ke depannya, tapi ini akan membantumu, aku janji!” Gadis itu akhirnya berhasil menangkap tangan kanan Jihoon dan segera memakaikan sebuah gelang dengan tali berwarna gelap lengkap dengan manik-manik berupa tujuh kristal putih yang berada selang seling antara lima bunga yang Jihoon lihat dua di antaranya berwarna hitam dan tiga lainnya berwarna abu-abu lengkap dengan daun tunggal berwarna hijau tua.
“Apa sih ini?! Gelang norak apa ini? Lepaskan!” Ujar Jihoon dengan emosi sembari berusaha melepaskan gelang itu dari pergelangan tangannya.
“Ini akan berguna, aku yakin, pakai saja, jangan pernah lepaskan!” Begitu mengatakan kalimat itu, gadis itu langsung mendorongnya keluar dari tenda dengan keras sampai-sampai Jihoon jatuh ke tanah.
“Sialan!” Sembari bangkit dan menendang batu kecil ke arah tenda, Jihoon bergegas pergi menemui Jeongyeon yang dia yakin akan memiliki banyak komentar mengenai waktu yang dibutuhkan Jihoon untuk menemukan toilet, persetan.
“Kau yakin?” Ujar Jeongyeon dengan nada khawatir, tatapannya berhati-hati melirik antara Jihoon dan pemandangan di depannya, sebuah Rumah Duka.
“Pergi saja dulu, nanti aku menyusul, bawa motorku.” Ucapan Jihoon itu bukannya menenangkan Jeongyeon tetapi justru membuatnya semakin khawatir, tetapi Jeongyeon tau betul seperti apa Jihoon jika ingin melakukan sesuatu.
“Oke, kabari saja kalau mau dijemput, aku pergi ya.” Dengan menghela nafas pasrah, Jeongyeon menaiki motor merah kesayangan Jihoon itu dan melaju pergi dengan cepat, pandangan terakhir yang Jeongyeon lihat adalah Jihoon yang masih terpaku ke Rumah Duka, tatapannya aneh.
Tetapi Jeongyeon tidak berani menegurnya tentang itu, entah mengapa dia merasa jika membahasnya hanya akan menghasilkan hal-hal yang tidak diinginkan. Di sisi lain dia merasakan perasaan yang aneh setelah itu, perasaan seperti kalimat yang dia ucapkan pada Jihoon akan menjadi kalimat terakhir yang pernah dia ucapkan, sungguh malam yang aneh.
Di sisi lain, Jihoon mulai melangkahkan kaki perlahan-lahan memasuki Rumah Duka itu, sudah cukup lama dia tidak datang, terakhir kalinya adalah ketika seseorang yang dimaksud meninggal.
Angin dingin di malam bulan November bertiup sepoi-sepoi tetapi hawa dingin dari musim gugur mulai mempengaruhinya, rasanya sama dengan hawa yang dia rasakan saat pertarungan terakhir itu, ketika dia melihat Baekjin –
Jihoon mulai mengalihkan pandangan ke sebuah taman di depan bangunan itu, ada sebuah pohon besar dengan bunga-bunga yang layu mulai jatuh ke tanah, daun-daun berwarna kecokelatan mulai berserakan di tanah dan terbang kembali tertiup oleh angin-angin berhawa dingin yang di bawa oleh bulan November. Rumput-rumput yang tampak dipangkas dengan rapi kini telah kehilangan kesegarannya, tampak mengering dan mati.
Perasaan rumit yang dia rasakan terutama sejak dia tanpa berpikir panjang datang kemari setelah bertemu dengan Gadis penipu yang berusaha meramalnya, jika dipikir-pikir lagi, entah mengapa Jihoon masih belum melepaskan gelang norak itu dari pergelangan tangannya.
Mungkin karena gelang itu terpasang di sana dengan paksa, atau mungkin karena gelang itu memancarkan hawa hangat aneh yang membuat pergelangan tangan Jihoon terasa hangat di tengah dinginnya suhu yang mulai menurun.
Mungkin perasaan heran bahwa ketika hampir seluruh tubuh Jihoon terasa dingin, hanya pergelangan tangan yang dihuni oleh gelang itu saja yang tetap hangat, ya pasti hanya karena alasan itulah Jihoon memilih membiarkan gelang norak itu tetap di sana.
Jadi dengan itu, Jihoon melangkah maju untuk masuk ke Rumah Duka, melewati lorong-lorong dengan cahaya lampu yang sangat terang sampai-sampai menyakitkan dan ironis mengingat ini adalah rumah duka di mana kelam seharusnya menjadi warna yang lebih sesuai dibandingkan dengan ini, meski begitu dia terus berjalan tanpa henti hingga sampai akhirnya dia menemukan tujuannya datang kemari.
Baekjin Na.
Hanya dengan menatapnya, seluruh perasaan rumit, seluruh pikiran yang membuat sakit kepala, hilang seketika.
Baekjin Na.
Satu-satunya hal yang Jihoon rasakan saat menatapnya adalah perasaan hampa, kosong, tetapi bukan dingin, tidak pernah dingin.
Baekjin Na.
Tidak ada kenangan yang muncul secara tiba-tiba ke permukaan, tidak ada reaksi yang berlebihan, hanya Jihoon yang berdiri di sana dan menatap ke arahnya.
Baekjin Na.
Jihoon mengamati guci itu, mawar-mawar putih di sekelilingnya tampak sangat cantik. Jihoon berharap bunga itu tidak akan pernah layu.
Pandangannya kini melirik ke tempat di sebelah kiri Baekjin, milik seorang wanita dengan nama Suha Lee, Jihoon kini bisa melihat kemiripan antara wanita itu dengan Baekjin, ibunya ya.
Ada perasaan rumit yang entah bagaimana tidak bisa Jihoon jelaskan, perasaan itu melilitnya melingkar dan menjalar dari perut ke dadanya membuatnya kesulitan bernafas dengan benar. Jadi Jihoon menundukkan kepala berusaha mengatur nafasnya agar tenang dan teratur.
Kemudian dia melihat sesuatu yang aneh, gelang yang melingkari pergelangan tangannya itu kini tampak mengkilap, kehangatannya terus memancar bahkan di ruangan yang dingin seperti ini, mungkin hanya efek dari banyaknya lampu yang terpasang, cahaya yang terpantul bisa membuat efek seperti itu kan? Juga mengingat ada banyak manik-manik yang terpasang jadi itu hanyalah efek cahaya dari sekitar.
Benar, Jihoon tidak perlu memikirkan hal-hal yang aneh, dia harus tetap fokus pada tujuannya, jadi dia mendongak kembali dan menatap foto wajah Baekjin, bahkan hanya lewat sebuah gambar saja dia masih bisa memancarkan aura mengintimidasi, atau mungkin itu hanya karangan otak Jihoon atau mungkin juga itu karena efek banyaknya tattoo dan tindikan yang Baekjin kenakan.
Setelah itu, Jihoon berbalik.
Beberapa menit itu saja sudah cukup untuk melegakan Jihoon, sudah cukup memuaskannya.
Tapi apakah itu memang benar yang dia inginkan? Apa itu semua memang benar sudah cukup? Jawabannya tentu saja belum, karena hal impulsif lain yang Jihoon lakukan adalah dengan menaiki bus dan pergi ke bawah jembatan tempat terakhir sebelum peristiwa itu terjadi.
Dia duduk di bangku yang sama dengan Baekjin Na terakhir kali duduk.
Jihoon mencoba mengingat bagaimana Baekjin Na dulu terlihat dari belakang sebelum akhirnya Jihoon memutuskan untuk pergi terlebih dahulu.
Jika saja dia tidak pergi, apa yang akan terjadi?
Jika saja dia mengumumkan keberatannya atas bubarnya Aliansi, apakah Baekjin Na akan peduli?
Apakah Baekjin Na akan menghajarnya habis-habisan? Tapi itu tidak masalah kan? Jika Baekjin Na bereaksi maka segalanya tidak akan menjadi seperti ini, segalanya tidak akan berakhir seperti ini.
Jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika, jika.
Jihoon menatap ke aliran air di depannya, mereka tampak tenang, damai dan tanpa gangguan. Semilir angin sepoi-sepoi membuat ombak-ombak kecil yang berirama pada sungai itu. Entah mengapa tersirat pikiran-pikiran tidak pantas di kepalanya.
Pikiran-pikiran itu seharusnya tidak pernah ada di kepala Jihoon, sial, dia adalah Jihoon Bae sialan.
Dia bukan cecunguk lemah.
Dia berjuang mati-matian untuk sampai di sini, untuk menjadi nomor 1, dia adalah Jihoon Bae, dia menguasai Yuseon, dia nomor 1 Yuseon.
Dia adalah Eksekutif Aliansi, dia bawahan langsung dari Baekjin Na.
Tapi itulah masalahnya, Baekjin Na.
Baekjin Na tidak lagi ada di sini, jadi siapa Jihoon Bae?
Tanpa Baekjin Na, apakah Jihoon Bae bisa menjadi sepenting itu? Apakah kehadirannya akan tetap ada?
Baekjin Na.
Tidak ada alasan sejujurnya, tidak ada alasan sama sekali. Hanya Jihoon yang terus ingin melihat Baekjin Na.
Hanya Jihoon yang ingin terus menjalani hari-hari normal yang mana normal berarti Baekjin Na ada di sana, hidup dan bernafas.
Jadi Jihoon mengambil ponsel dari saku jaketnya dan mengetikkan sebuah pesan pada Jeongyeon.
Setelah itu dia meletakkan ponselnya dibangku, bangkit berdiri dan berjalan perlahan-lahan ke arah sungai, menuruni anak tangga demi anak tangga, menginjak batu-batu terjal di sepanjang pinggiran sungai.
Merasakan bagaimana hawa dingin bulan November membuat air tampak membeku, air itu perlahan-lahan mulai masuk ke dalam sepatunya, membasahi kaos kaki dan membuat bulu kuduknya berdiri.
Semakin lama ia berjalan, semakin dalam pula air membawanya.
Hingga akhirnya dia melepaskan segalanya dan membiarkan arus sungai menenggelamkannya, airnya dingin, sangat dingin, Jihoon mencoba membuka matanya untuk melihat, sayangnya tak ada apapun yang bisa terlihat, sekelilingnya sangat gelap.
Hanya ada suara air yang menggelegak di sekitarnya, arus yang terus mendorong tubuhnya entah kemana, arus itu juga lah yang semakin lama menyeretnya ke dalam dasar, semakin lama dia berada di sana, semakin dia tidak bisa mengendalikan diri, jadi untuk pertama kalinya dia melepaskan diri dan membiarkan segalanya masuk.
Jihoon Bae merasakan air dingin itu mulai masuk ke hidung serta mulutnya. Seluruh tubuhnya berjuang untuk bernafas, untuk oksigen. Sayangnya yang akan didapatkan hanyalah air.
Dalam kondisi ini, Jihoon hanya memikirkan tentang Baekjin Na.
Tentang bagaimana jika, tentang penyesalannya, tentang keinginannya, pusat dari semua ini adalah Baekjin Na.
Selalu Baekjin Na, tidak pernah kurang.
Ada yang bilang saat seseorang akan mati, otaknya akan secara otomatis memutar kenangan yang paling berharga dalam hidup, 7 menit, begitulah katanya.
Jihoon tidak tau apakah itu benar-benar 7 menit, tapi satu hal yang dia tau.
Jihoon melihat kenangan sewaktu dia masih kecil, kenangan kemenangan-kemenangan pertarungannya, kenangan pertama kali bertemu Jeongyeon, dia masih ingat betul hal itu seperti kemarin dan bukannya sudah bertahun-tahun berlalu.
Itu pasti bermula dari cecunguk sialan yang tertawa melihat gambarnya, dia tidak cukup penting untuk Jihoon ingat tapi dia adalah teman Jeongyeon, jadi tentu saja sebagai teman yang baik Jeongyeon datang menghampiri Jihoon untuk membalaskan dendam.
Tentu saja Jihoon lebih kuat, dia menang dengan mudah, tapi entah mengapa ada sesuatu yang membekas di ingatannya tentang pertarungan itu, jadi Jihoon mengikuti intuisinya untuk mengajak Jeongyeon berkenalan
Dan sisanya berjalan dari sana lalu mereka praktis selalu bersama, Jeongyeon berbeda dari anak-anak lainnya, mungkin karena kesetiannya, Jeongyeon praktis tidak pernah meninggalkan Jihoon tidak peduli situasinya, bahkan jika mereka kalah sekali pun.
Tapi sekarang justru Jihoon lah yang meninggalkan Jeongyeon, seharusnya tidak seperti ini kan? Seharusnya Jihoon tetap menjalani hidupnya dengan Jeongyeon, mereka seharusnya terus bersama, menjalani masa remaja ini dengan santai, bersenang-senang dan mungkin melanggar peraturan di sana sini karena selama ini itulah yang mereka lakukan.
Jihoon seharusnya menjalani masa remaja dan bertransisi ke masa dewasa dengan Jeongyeon di sisinya, mungkin mereka akan mendaftar ke Universitas meskipun agak mustahil tapi akan ada suatu masa di mana Jihoon akan melepaskan semua kenakalannya dan menjadi serius dalam menjalani hidup, Jeongyeon juga.
Seharusnya tidak seperti ini, tapi kemudian inilah yang Jihoon pilih secara sadar. Dia melepaskannya dengan senyuman mengingat kenangan dengan Jeongyeon.
Jihoon berharap Jeongyeon melanjutkan hidupnya dengan bahagia, Jihoon berharap Jeongyeon mulai mengelola emosi dan kecenderungannya untuk memukul dahulu dan bertanya kemudian, Jihoon berharap Jeongyeon menjalani hidupnya dan mungkin sesekali dia akan mengungkit kenangan dengan Jihoon di dalamnya, dia benar-benar berharap yang terbaik untuk temannya, sahabat baiknya.
Dan kemudian ada kenangan tentang Baekjin Na.
Baekjin Na.
Jihoon ingin menggapainya, untuk menyentuhnya.
Tanpa Baekjin Na, hidup Jihoon tidak lagi berarti apa pun.
Tanpa Baekjin Na, Jihoon kehilangan arah.
Tanpa Baekjin Na, bayangan yang Jihoon lihat di cermin tidak lagi bisa dia kenali.
Jadi dengan itu, Jihoon menghilang sama seperti Baekjin Na yang menghilang dari hidupnya.
Ini adalah akhirnya, begitu kenangan-kenangan mulai memudar, Jihoon tersenyum meskipun paru-parunya terasa sesak meminta oksigen, meskipun tubuhnya terus meronta berusaha menyelamatkan diri, Jihoon memejamkan mata sembari mengingat Baekjin Na.
Baekjin Na dengan segala tattoonya, Baekjin Na dengan kulit pucatnya, Baekjin Na dengan rambut pirangnya, Baekjin Na dengan mata merahnya, Baekjin Na dengan segala hal yang membentuk dirinya, dengan mengingat semua itu, Jihoon menghembuskan nafas terakhirnya.
